Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Oleh: Setyo Budiantoro?
Lebih memprihatinkan lagi bila merujuk data World Population Review terakhir, meski terjadi peningkatan angka harapan hidup namun posisi Indonesia ternyata masih lebih rendah dari Bangladesh dan Korea Utara. Ini sungguh tragis, usia harapan hidup penduduk Indonesia lebih pendek dari negara dengan pendapatan jauh lebih rendah, selain itu juga “ditemani” penyakit berkepanjangan.
Terjadinya stunting dan penduduk yang sakit-sakitan mengancam hilangnya dua bonus demografi sekaligus. Bonus demografi pertama adalah kondisi ketika penduduk usia muda proporsinya lebih tinggi dari usia tua. Namun, akan terjadi bonus apabila penduduk usia muda tersebut sehat, produktif dan kompetitif. Stunting jelas akan mengaborsi bonus tersebut.
Bonus demografi kedua terjadi di era “generasi perak” (silver generation), saat jumlah penduduk lansia melampaui penduduk usia muda. Namun, bonus juga akan terjadi ketika penduduk lansia tersebut masih tetap sehat dan produktif di masa “ekonomi perak” (silver economy). Bila syarat mencukupi tidak terpenuhi pada kedua bonus tersebut, maka yang terjadi justru bencana demografi (demographic disaster) karena generasi yang seharusnya menjadi harapan justru menjadi beban.
Perkawinan Anak
Bagi keluarga miskin, perkawinan anak seringkali menjadi mekanisme untuk melepaskan beban kemiskinan. Selain itu, di banyak daerah juga terdapat budaya bila perempuan di usia kurang dari 18 tahun belum berkeluarga dianggap “tabu”. Padahal, pernikahan usia dini menjadi pintu gerbang awal pemicu stunting karena kondisi ekonomi belum siap dan tingkat pengetahuan yang kurang memadai tentang kesehatan bayi serta anak.
Perkawinan dini berisiko melahirkan kemiskinan baru, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan bahkan kematian ibu melahirkan karena sistem reproduksi belum siap. Ironisnya, di jaman makin modern dengan berbagai disrupsinya, perkawinan anak di usia 15 tahun ke bawah justru meningkat di tahun 2018. Sungguh tragis.
Perkawinan anak juga beresiko menghilangkan dua generasi. Generasi pertama adalah kedua anak yang menikah, terutama pada anak perempuan. Generasi kedua adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Dari nilai PISA, sejalan dengan prestasi akademik di sekolah, kemampuan anak perempuan dalam matematika dan membaca jauh lebih baik dari anak laki-laki. Perkawinan anak berisiko merebut masa muda dan produktif anak perempuan secara dini untuk mengurus anak dan melayani suami dalam budaya patriarki.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan dini disamping beresiko stunting juga tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dari ibu yang berdaya. Salah satu kunci keberhasilan anak sangat ditentukan kemampuan ibu, karena seorang ibu adalah penjamin gizi, kesehatan dan pendidikan anak. Tak mengherankan bila sering diungkapkan “Educate a man, you educate a man. You educate a woman, you educate a generation. Empowering women means empowering the nation”. Secara global mengakhiri perkawinan anak dikalkulasi akan meningkatkan ekonomi dunia sebesar 4 triliun dolar, atau 5 triliun dolar bila ditambahkan mengatasi kelahiran dini hingga 2030.
Untuk kebutuhan nutrisi bagi masyarakat secara umum, Indonesia tidak memiliki panduan memilih makanan yang memadai. Panduan makanan justru berasal dari iklan, terutama televisi.
- Komisi III DPR Pilih 5 Pimpinan KPK 2024-2029, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
- PKN Membantu Pemerintah untuk Mengentaskan Masalah Stunting
- Kaltim Andalkan Data Presisi Geospasial untuk Pembangunan
- Polres Inhu Menanam Cabai Dukung Program Asta Cita terkait Ketahanan Pangan
- Tekan Stunting, Pemkot Palembang Luncurkan Dapur Sehat
- Gandeng UNSIKA, Peruri Perkuat Program Penurunan Stunting di Karawang