Revolusi Prancis

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Revolusi Prancis
Suporter Timnas Prancis membawa foto Kylian Mbappe. Foto: REUTERS/Bernadett Szabo

Keteka menyadari negara dalam keadaan krisis, golongan bangsawan menolak membayar pajak. Mereka justru membebankan seluruh kewajiban pajak kepada rakyat.

Louis XVI hanya bisa mengandalkan pembayaran pajak untuk mengatasi masalah keuangan negara. Namun, ia tidak bisa memaksa kelompok bangsawan untuk membayar pajak karena bangsawan memiliki hak-hak istimewa, yakni bebas dari pajak.

Rakyat yang sudah menderita akhirnya menjadi kian sengsara karena pajak.

Ketidakadilan dalam bidang politik pun terjadi, terutama ketika pemilihan pegawai-pegawai pemerintah bukan berdasar keahlian, melainkan karena keturunan. Hal itu menyebabkan administrasi negara kacau dan korupsi merajalela.

Rakyat makin terisolasi karena tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam pemerintahan.

Munculnya filsuf-filsuf pembaru yang berpaham rasionalis juga turut andil dalam mendorong meletusnya Revolusi Perancis. Paham rasionalis hanya mau menerima kebenaran yang dapat diterima oleh akal.

Paham ini telah melahirkan renaissance dan humanisme yang menuntun manusia berpikir bebas dan mengemukakan pendapat.

Hasilnya, muncul tokoh-tokoh pemikir yang karyanya berpengaruh besar terhadap masyarakat Perancis saat itu, seperti Montesquieu dan JJ Rousseau.  

Ironi Revolusi Prancis ialah setelah revolusi paling berdarah di dunia itu berhasil menumbangkan penguasa otoriter, ternyata dalam waktu singkat dibajak oleh kekuatan otoriter baru. Muncullah penguasan baru yang tidak kalah otoriter dibanding the ancien regime.

Hakimi dan Mbappe boleh saja bersahabat akrab, tetapi di atas lapangan keduanya akan saling mengunci dan mengalahkan demi kejayaan negara masing-masing.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News