Rizal Ramli: Sri Mulyani Bebani Rakyat dengan Bunga Rp 151 T
jpnn.com, JAKARTA - Rizal Ramli terus menyerang kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait utang negara. Menurutnya, inkompetensi Sri Mulyani telah membuat rakyat terpaksa menanggung beban bunga senilai USD 11 miliar atau sekitar Rp 151 triliun.
Menurut Rizal, Sri Mulyani gagal menegosiasikan bunga utang menjadi murah. Akibatnya, bunga utang yang diperoleh Indonesia tinggi.
"Dia terbitkan bond (surat utang) 42 miliar dolar, tapi hampir 11 miliar ekstra bunga yang harus masyarakat bayar. Saya minta Sri Mulyani tukar bond dengan pembiayaan yang lebih murah, karena harusnya Indonesia di bawah Thailand, Vietnam, dan Filipina," jelas Rizal seperti dilansir RMOL.co, Rabu (28/3).
Rizal menjelaskan bahwa kesalahan Sri Mulyani itu sudah dimulai saat masih menjabat menteri keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kala itu, Sri Mulyani menyepakati penerbitan utang kepada asing dengan bunga sekitar dua persen lebih tinggi dibandingkan yang diterbitkan negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Atas alasan itu, Rizal menantang Sri Mulyani untuk berani menukar kembali surat utang luar negeri yang telah dikeluarkan Indonesia. Sehingga, bunga yang didapat lebih murah dan tidak menjadi beban rakyat.
Menurutnya, tantangan itu merupakan hal mudah lantaran peringkat surat utang Indonesia sudah jauh lebih baik.
Tidak cukup sampai di situ, Sri Mulyani juga ditantang lebih kreatif mencari sumber pendanaan.
Rizal Ramli mengatakan, inkompetensi Sri Mulyani telah membuat rakyat terpaksa menanggung beban bunga senilai USD 11 miliar atau sekitar Rp 151 triliun.
- Anak Buah Sri Mulyani Klaim Kondisi Perkonomian Indonesia Tetap Stabil jika PPN 12 Berlaku
- Buntut PPN 12 Persen, Pemerintah Bebaskan PPH ke Pekerja Padat Karya
- Ternyata Daging hingga Listrik Kena PPN 12 Persen, Begini Kriterianya
- Tarif PPN Resmi jadi 12 Persen, Sri Mulyani: Masih Relatif Rendah
- Menkeu: APBN Defisit Rp 401 Triliun
- Menkeu Sri Mulyani Buka-bukaan soal Nasib Ekonomi Indonesia pada 2025