Rumah Merah
Oleh: Dahlan Iskan
Padahal, Lasem adalah juga Rumah Merah itu. Belum ke Lasem kalau belum ke Rumah Merah.
Kelak, Jalan Karang Turi tidak boleh hanya diberi selokan. Harus lebih istimewa. Lebih khas. Karang Turi adalah jalan yang kelak sangat layak jual: sebagai pusat turis.
Masih banyak yang harus dikerjakan untuk memoles Jalan Karang Turi. Toh, jalan tersebut tidak panjang. Kurang dari 300 meter. Tidak akan mahal membuat Jalan Karang Turi bernuansa istimewa.
Karang Turi juga tidak lebar. Hanya 6 meter yang 4 meter sudah telanjur diaspal. Mestinya jangan ada aspal di Karang Turi. Jalannya bisa dibuat dari batu-batu model Jalan Braga di Bandung.
Karang Turi bukan jalan utama di Lasem. Juga, bukan satu-satunya yang berciri Tionghoa. Namun, Karang Turi-lah jantungnya.
Tidak sulit menemukan Karang Turi. Waktu itu saya datang dari arah Semarang –tepatnya dari arah Pati-Rembang. Lewat Jalan Daendels –sekarang lebih terkenal sebagai jalan pantura.
Begitu memasuki Kota Lasem, tengoklah ke kanan. Ada masjid besar di pinggir jalan pantura. Itulah Masjid Jami’ Lasem. Berilah tanda: akan belok kanan. Untuk masuk ke Jalan Jatirogo. Itulah jalan utama di dalam Kota Lasem.
Sekitar 300 meter dari masjid, sudah mulai tercium rasa China Town-nya. Itulah Pecinan Lasem. Rasanya nyaris seluruh Lasem adalah China Town. Konon, itulah pecinan tertua di Jawa. Sudah ada sejak sebelum zaman Majapahit.
Saya pun masuk ke Rumah Merah itu. Yang catnya memang serbamerah. Yang diselingi warna kuning. Khas China Town.