Rumah Merah
Oleh: Dahlan Iskan
Siapa saja boleh masuk ke rumah besar tersebut. Rumah turis. Yang dahulunya pastilah rumah golongan orang terkaya di Lasem. Besar sekali.
Istri saya tertarik ke yang lain: ke pembatikan. Dia memang belum punya koleksi batik Lasem. Juga, baru tahu bahwa batik Lasem itu terkenal. Di kampungnya, Kaltim, hanya pernah mendengar batik itu harus Solo dan Yogyakarta.
Beda dengan suaminya. Sejak kecil saya sudah tahu: batik Lasem itu istimewa. Waktu disunat, saya dibelikan sarung baru: sarung batik Lasem. Sarung bekas yang diperbarui. Sarung lama yang dibatik ulang.
Ibu sendiri yang membatik ulang. Menjadi seperti baru.
Batik Lasem juga dikenal sebagai batik pesisir utara. Coraknya lebih egaliter, lebih bebas, dan lebih berwarna.
Cita rasa warna Tionghoa banyak berpengaruh ke batik Lasem. Beda dengan batik Solo yang klasik, feodal, dan ningrat.
Saya celingukan di dalam rumah besar itu. Tidak tahu harus bertanya apa kepada siapa. Tiba-tiba suara keras memanggil nama saya. Dari arah belakang. Saya amati siapa yang datang tergopoh-gopoh itu. Sepertinya saya kenal: lupa namanya.
”Saya Rudy Hartono. Masak, Pak Dahlan lupa,” katanya.