Rumah Semeru
Oleh: Dahlan Iskan
Banyak tanah Perhutani di lereng Semeru. Kebetulan ada 81 hektare yang relatif datar. Cukup untuk membangun 1951 rumah –-sesuai dengan jumlah korban yang rumah mereka hancur.
Dan yang penting ada sumber air di lereng gunung itu. Kementerian PUPR membangun tangki air besar. Cukup untuk keperluan air semua rumah baru. Air mengalir dari tangki itu ke rumah korban lewat pipa. Tanpa pompa. Posisi tangki jauh lebih tinggi.
"Warga sendiri yang akan mengelola air ini nanti," ujar Cak Thoriq.
Saya juga melewatkan Land Rover ke deretan rumah yang menghadap sungai. "Wow. Indah sekali. River view," celetuk saya secara spontan.
Di samping menghadap sungai juga ada tanah lapang di depan. Blok rumah lainnya dibangun di seberang tanah lapang itu.
Namun, tidak boleh ada yang minta rumah di situ. Juga tidak ada undian rumah. Penempatannya kelak berdasar posisi rumah mereka di kampung lama.
"Tetangga mereka pun tetangga lama. RT mereka pun RT lama," ujar Cak Thoriq. Dengan demikian semua aktivitas sosial mereka di kampung baru tidak ada yang berubah.
Di tanah lapang itu akan dibangun masjid, sekolah dan fasilitas olahraga. "Masjidnya akan dibangun oleh alumni Akabri," ujar Cak Thoriq.