Rupiah dan Persepsi Pasar di Tengah Pandemi Corona
Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
jpnn.com - SUDAH menjadi fakta bahwa kinerja perekonomian global memburuk akibat pandemi Covid-19. Publik sudah menyimak perkiraan dan analisa dari sejumlah lembaga multilateral, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan juga perkiraan dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
Nadanya seragam; bahwa perekonomian global 2020 tumbuh negatif, dan berpeluang membaik baru pada 2021 mendatang.
Melewati kuartal I 2020, gambaran suram itu menjadi nyata setelah memahami data-data yang telah dipublikasikan. Ekonomi AS tumbuh negatif 4,8 persen, pertumbuhan Tiongkok minus 6,8 persen dan pertumbuhan Eropa minus 3,3 persen. Kinerja perekonomian negara lainnya seperti Jepang, Korea Selatan hingga Singapura pun mengalami pelemahan.
Dari semua yang serbasuram pada kuartal pertama 2020 itu, Indonesia ternyata tidak jelek-jelek amat, karena masih bisa tumbuh positif walaupun jauh dari perkiraan sebelumnya. Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia per kuarta I 2020 tumbuh 2,97 persen.
Namun, pemerintah sadar bahwa keadaan akan berbalik menyusul penerapan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang dimulai pekan kedua April 2020, terutama di Jakarta dan sejumlah kota lain di pulau Jawa. Penerapan PSBB itu bisa menyebabkan ekonomi RI tumbuh negatif pada kuartal II 2020.
Berdasarkan gambaran dan perkiraan itu, semua negara berupaya menghindari situasi terburuk. Sejumlah negara atau kota segera mengakhiri periode penguncian (lockdown). Memang tidak mudah karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Ada yang gagal di tahap awal sehingga harus di-lockdown lagi seperti terjadi Beijing, Tiongkok dan Seoul di Korea Selatan.
Indonesia, dengan sangat berhati-hati dan persiapan yang matang, coba mengakhiri PSBB untuk kemudian menerapkan pola atau gaya hidup baru dengan tetap berpijak pada protokol kesehatan. Dengan menerapkan pola hidup baru yang memungkinkan semua aktivitas produktif bisa dimulai lagi, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II 2020 diharapkan tidak terlalu buruk.
Harapan itu cukup beralasan. Selain oleh faktor pertumbuhan positif pada kuartal I 2020, faktor rupiah yang terapresiasi cukup signifikan oleh mekanisme pasar menjadi lainnya. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap beberapa valuta utama itu mencerminkan persepsi atau sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa sentimen positif itu menjadi modal dasar untuk memulai pemulihan semua aspek kehidupan dengan protokol kesehatan pola hidup baru.
Menurut Bamsoet, nilai tukar rupiah menguat signifikan sejak Mei 2020. Menguatnya nilai tukar rupiah lebih karena faktor fundamental, seperti rendahnya inflasi dan defisit transaksi berjalan yang relatif aman.
- Mendag Buka-bukaan Penyebab Kenaikan Harga Minyakita
- Bamsoet Minta Polri Jerat Bandar Narkoba Dengan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang
- Waka MPR Lakukan Uji Coba Makan Bergizi Gratis di Donggala
- Harga Minyak Goreng Meroket, Kemendag Akui Ada Kenaikan
- Eddy Soeparno Dukung Diplomasi Prabowo Membangun Kolaborasi Global Hadapi Krisis Iklim
- MPR & ILUNI FHUI Gelar Justisia Half Marathon, Plt Sekjen Siti Fauziah Sampaikan Ini