Rupiah Nyaris Rp 17 Ribu, Cermin Ketidaksiapan Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi

Menurut Nur Hidayat, langkah ini terkesan berulang namun hasilnya kurang memuaskan hanya sebagai upaya damage control yang tidak efektif, bukan antisipasi matang.
Padahal, sejak awal Maret 2025, sinyal kenaikan tarif AS-China sudah jelas.
Nur Hidayat menjelaskan ketika AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April, BI seharusnya langsung mengaktifkan segenap langkah antisipasi (protokol) depresiasi lebih dalam, bukan menunggu liburan panjang hingga Rupiah terjerembap di level terendah sejarah.
Perbandingan dengan Bank Sentral Filipina (BSP) dan Bank Sentral lainnya menunjukkan perbedaan mencolok.
Dia melanjutkan Sejak AS mulai mengancam kenaikan tarif pada Februari 2025, BSP telah memperkuat cadangan devisa melalui forward contracts.
"Alhasil, peso Filipina hanya terdepresiasi 6,8 persen pada periode 1 Februari- 7 April 2025, sementara Rupiah merosot 13,2 persen pada periode yang sama. BI, di sisi lain, bereaksi DNDF setelah depresiasi besar terjadi—bukti nyata ketidaksiapan," beber Nur Hidayat.
Meskipun demikian, kebijakan moneter adalah kebijakan yang bersifat kompleks dan responsif terhadap berbagai faktor, dan perbedaan strategi dengan bank sentral lain bukti independensi bank sentral.
Ada pengambil kebijakan (policy makers) yang tepat (smart) dan ada juga yang tidak tepat, itu semua diukur dari kinerja penurunan depresiasinya.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin pagi di Jakarta melemah sebesar 251 poin atau 1,51 persen menjadi Rp 16.904 per USD
- PIK 2 Dinilai Bisa Jadi Titik Balik Kebangkitan Ekonomi Pesisir
- BI Turun Tangan Redam Gejolak Kurs Rupiah di Pasar NDF
- Buruh Jabar Khawatir Tarif Trump Bakal Memicu PHK Massal
- Realitas Utang
- Prabowo & Anwar Ibrahim Bahas Dampak Kebijakan Tarif Impor Donald Trump
- Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir Sampaikan Usulan Guna Mitigasi Kebijakan Tarif Resiprokal AS