RUU DIY Tempatkan Sultan Sebagai Simbol Politik

Tetap Diberi Hak Memveto Perda

RUU DIY Tempatkan Sultan Sebagai Simbol Politik
RUU DIY Tempatkan Sultan Sebagai Simbol Politik
JAKARTA - Meski pada 9 Oktober mendatang, masa jabatan Gubernur Jogjakarta Sri Sultan HB X beserta wakilnya, Paku Alam IX, berakhir, Komisi II DPR tak mau tergesa-gesa membahas RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta. ''Kita harus berhati-hati karena kita sangat menghormati dan menjunjung tinggi keistimewaan Jogjakarta dalam kerangka NKRI,'' kata Ketua Komisi II Evert Ernest Mangindaan dalam RDP dengan DPRD Jogjakarta di gedung DPR, Rabu  (17/9).

Dia mengakui, draf RUU usul pemerintah tersebut sebenarnya telah diterima DPR. Begitu juga surpres (surat presiden) No R-52/Pres/8/2008 tertanggal 15 Agustus 2008 yang menugasi Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menkum ham untuk mewakili pihak pemerintah dalam proses pembahasannya. ''Tapi, kami tidak mau terburu-buru,'' tegasnya.

RUU tentang Daerah Istimewa Jogjakarta memang sangat bernilai strategis, khususnya bagi masyarakat Jogja. Sebab, dalam drafnya, pemerintah mengusulkan agar gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Mekanisme itu tentu mendobrak sistem ''istimewa'' yang berlaku selama ini. Sebab, Sultan dan Paku Alam otomatis dilantik sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur Jogja.

Meski begitu, pemerintah menawarkan untuk tetap menjaga eksistensi Sri Sultan Hamengku Buwono dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakualaman dalam bentuk Parardhya.

JAKARTA - Meski pada 9 Oktober mendatang, masa jabatan Gubernur Jogjakarta Sri Sultan HB X beserta wakilnya, Paku Alam IX, berakhir, Komisi II DPR

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News