RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah Perlu Partisipasi Publik demi Tata Kelola yang Adil

RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah Perlu Partisipasi Publik demi Tata Kelola yang Adil
Penerbangan haji (Ilustrasi). Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyisakan sejumlah persoalan krusial. Berbagai temuan menunjukkan adanya celah hukum, ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan aturan yang telah disusun, serta tata kelola haji dan umrah yang belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan.

Kondisi tersebut mendorong agar Komisi VIII DPR membuka ruang partisipasi publik, sehingga masyarakat dapat memberikan masukan demi penyusunan regulasi yang adil dan transparan.

Forum Haji dan Umrah Berkeadilan, yang menghimpun peneliti dan praktisi dari berbagai provinsi, mengungkapkan sejumlah catatan kritis hasil pemantauan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah selama beberapa tahun terakhir. Mereka mencatat bahwa pengelolaan haji di Indonesia ditangani oleh tiga lembaga, yaitu Kementerian Agama, Badan Penyelenggara Haji, dan Badan Pengelola Keuangan Haji.

Keberadaan tiga lembaga ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan, yang pada akhirnya merugikan calon dan jemaah haji serta mempersulit pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat.

Selain itu, pembagian kuota keberangkatan haji pada tahun 2024 menjadi sorotan. Meskipun pemerintah memperoleh tambahan 20 ribu kuota, pembagiannya antara jemaah reguler dan khusus dilakukan secara merata. Padahal, calon jemaah haji reguler harus menunggu antrean selama puluhan tahun untuk dapat berangkat.

Dafa Batubara, Koordinator Forum Haji dan Umrah Berkeadilan, mengatakan kebijakan tersebut dianggap tidak adil, terlebih lagi mengingat kuota haji juga bergantung pada kebijakan pemerintah Arab Saudi. Informasi yang beredar untuk 2025 mengindikasikan bahwa Arab Saudi akan memberlakukan pembatasan usia, dengan data Kementerian Agama pada 2022 menunjukkan ada 44.489 calon jemaah haji berusia 80 tahun ke atas yang masih mengantre.

Selain itu, praktik keberangkatan jemaah haji khusus tanpa antrean diduga merupakan hasil dari permainan antara pemerintah dan agen Penyelenggara Ibadah Haji Khusus.

Permasalahan tidak berhenti pada aspek kuota. Manajemen keuangan haji juga menuai kritik. Meskipun Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) reguler 2025 mengalami penurunan, dana keberangkatan jemaah saat ini bersumber dari setoran jemaah baru dan belum dioptimalkan melalui investasi.

Forum Haji dan Umrah Berkeadilan, yang menghimpun peneliti dan praktisi dari berbagai provinsi, mengungkapkan sejumlah catatan kritis.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News