Sadaring Satupena 6: Kebiasaan Lokal Jadi Tantangan Pegiat Literasi

Sadaring Satupena 6: Kebiasaan Lokal Jadi Tantangan Pegiat Literasi
Suasana Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi” pada Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. Foto: Tangkapan layar

“Jadi, literasi itu tak sekadar baca tulis,” tutur Debby yang aktif membangun juga mengobarkan literasi di Nusa Tenggara Timur.

Ketiga pembicara dalam Sadaring Satupena itu sepakat bahwa sikap kesukarelawanan menjadi jantung gerakan literasi.

“Bahkan ibaratnya hanya dengan nasi bungkus saja kita terus bergerak,” kata Ama.

Nasi bungkus juga yang menjadi modal dasar gelaran Festival Sastara Banggai, yang mulai dihelat sejak tahun 2017.

“Artinya semua bermodal sukarela, tetapi dengan jejaring kami bisa mendapatkan donasi dari berbagai pihak,” tambah Ama.

Kekuatan jejaring itu, tambah Iffah, telah terbukti cukup efektif membawa novel karya seorang santri berjudul Hati Suhita (Khilma Anis) menjadi buku best seller.

“Kalau enggak salah sekarang sudah dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Novel ini diterbitkan oleh penulisnya sendiri dan dipasarkan lewat jejaring perempuan santri seperti Komunitas Perempuan Membaca,” kata Iffah.

Menurut Iffah, kekuatan jejaring telah menjadi pendukung utama sikap kerelawanan dalam menggalang literasi di berbagai daerah di Nusantara.

Kebiasaan-kebiasaan lokal yang telah berakar pada masyarakat menjadi tantangan yang tak mudah diretas oleh para pegiat literasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News