Safari Djauhari

Oleh: Dahlan Iskan

Safari Djauhari
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Anda sudah tahu: sarang burung Indonesia kena blacklist. Lama sekali. Salah kita sendiri. Pedagang kita rakus. Untuk membuat sarang burung berwarna putih-bening digunakan kimia yang dilarang.

Begitu tidak bisa masuk Tiongkok, harga pun nyungsep. Pedagang yang baik ikut jadi korban kerakusan itu. Mereka terpaksa ekspor lewat Malaysia. Diakui sebagai produk Malaysia.

Perjuangan memasukkan sarang burung kembali ke Tiongkok memakan waktu lebih dari 10 tahun. Sebenarnya tahun 2013 Presiden SBY sudah berhasil menyepakati protokol baru dengan Perdana Menteri Wen Jiaobao. Tetapi pelaksanaannya perlu banyak terobosan.

Akhirnya berhasil juga. Awalnya hanya 12 pedagang yang dapat izin. Lalu bikin kecemburuan. Ratusan produsen sarang burung merasa dianaktirikan. Lalu membentuk asosiasi tandingan.

Memang tidak mudah mengembalikan nama yang telanjur rusak. Tetapi proses penambahan kuota terus dilakukan. Jadi 16. Naik lagi jadi 24. Saya pun kaget-kaget-senang  ketika kini sudah jadi 36.

Tentu masih banyak lagi yang antre untuk bersedia diteliti: apakah proses produksinya sudah sesuai dengan aturan bahan mentah makanan.

"Sebenarnya kalau yang kita ekspor itu sarang burung yang sudah jadi makanan tidak perlu banyak prosedur," ujar Wadubes Dino.

Penjelasan Dino ini penting. Siapa tahu bisa menginspirasi para produsen sarang burung kita untuk mulai melangkah ke produksi makanan/minuman. Lalu  kita bisa ekspor bahan jadi.

Sudah dekat Lebaran masih di Tiongkok. Maka duta besar Indonesia di Beijing pun mengundang saya: untuk berlebaran bersama masyarakat Indonesia di kedutaan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News