Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia

Dari Semangat “Binatang Jalang” ke Padang Kota Kata

Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia
Sahur Puisi di Hari Puisi Indonesia

Ya, masa perjuangan lain sedang menanti. Dan salah satu yang mungkin patut diperjuangkan adalah menjadikan Padang sebagai Kota Kata, sebagaimana yang disampaikan Sudarmoko. Persoalan ini perlu dimunculkan, terutama oleh karena sekarang ada usaha untuk mendefenisikan diri sendiri, mengenali potensi dan peluang, untuk membangun masa depan.

Padang perlu memikirkan diri sedeni mungkin untuk mengambil frase itu, frase Kota Kata. Mengingat, apa yang ada di dalamnya memenuhi kadar untuk penyebutannya. Ada sejumlah nama, karya, pengarang, media, penerbit, lembaga dan komunitas, yang bergerak di bidang ini. “Sejarah pun telah membuktikan perjalanan yang tiada henti, baik geliat di dalamnya maupun pengaruhnya dalam skala yang lebih luas,” tutur lulusan Leiden, Belanda itu.

Salah satu yang menonjol dari Padang adalah kata, sastra, bahasa, dialektika, intelektualitas, rasa estetika. Akan tetapi, sastra, dan juga puisi, dia kira perlu juga memasuki relung kota. Di mana nantinya akan ada penggalan puisi Yusrizal KW di sebuah kantor pemerintah. Ada frase “Beri aku Tambo, jangan sejarah” dari puisi papa Rusli termaktub di dinding Ladang Nan Jombang.  

Dia juga berpikir, ada nuansa yang berbeda, jika sastra mampu dikenalkan lebih jauh. Emosi mungkin akan terkurangi, ketika tanpa sadar orang-orang membaca penggalan puisi di dinding gedung besar, ketimbang terpaksa membaca iklan atau baliho kampanye wali kota. Imajinasi akan lebih hidup, ketika dapat menikmati sebuah taman yang hijau dan rindang, ada sejumlah tulisan, karya sastra, perpustakaan kecil, dan panggung baca puisi.

Padang, sekian tahun kemudian, mungkin akan berbuah menjadi kota penuh kejutan estetika, jika hal ini dapat dilakukan. Bahasa dan laku masyarakat akan memiliki kekuatan. Tapi memang, sebut dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unand ini, karakter sebuah kota terbangun dalam waktu yang lama, yang mungkin melelahkan untuk merekayasa dan memengaruhinya.

“Kota Kata, tidak harus dilakukan oleh para penyair atau pengarang. Ia dapat dilakukan kita, pembaca dan penikmat sastra, pengusaha atau mahasiswa, penjaja atau pengemudi angkutan kota,” tukasnya.

Ya, Seperti yang telah dilakukan salah seorang mahasiwa Unand Heru Jhoni Putra, yang juga hadir dalam perayaan Hari Puisi Indonesia tersebut. Kepada para tetamu dia mengaku, di dinding kamarnya ada sepenggal larik puisi dari penyair Rusli Marzuki Saria.

“Beri aku tambo, jangan sejarah. Aku ingin tuak penuh ragi dan tidak bangkai-bangkai yang menyerah”. Begitulah penggalan puisi di dinding kamar mahasiswa itu. (***)


Jam nol-nol. Ketika keranda kutarik bumi tak melirik. Seperti merapat memeluk erat. Dingin mendegapkan langkahku, yang bersiul menuju kuburan zaman...


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News