Saleh Merasa Jadi Korban DPRD
jpnn.com - JAKARTA – Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit -terdakwa perkara korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran Pemprov Riau- merasa menjadi korban oleh kebijakan yang ditetapkan DPRD. Kuatnya posisi DPRD membuat Saleh tak dapat dapat menghindar dari kebijakan yang telah ditetapkan DPRD.
Saat menyampaikan pledoi pada persidangan kasus korupsi pengadan 20 unit pemadam kebakaran yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (4/8), Saleh menyatakan bahwa ketika proyek pengadaan pemadam dilaksanakan pada tahun 2003, saat itu masih berlaku UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahann Daerah. "Undang-undang tersebut memosisikan DPRD sangat kuat sehingga eksekutif tidak dapat berbuat apa-apa terhadap apa yang telah digariskan oleh DPRD," ujar Saleh.
Pada pembelaannya Saleh juga menegaskan bahwa dirinya sebagai gubernur tidak pernah mengarahkan atau menetapkan spesifikasi mobil pemadam kebakaran yang akan dibeli Pemprov Riau. Dikatakan, semua inisiatif justru dari anggota DPRD Riau. "Saya hanya mengajukan rencana pengadaan tiga unit mobil damkar tanpa mencantumkan merek dan tipe," tandasnya.
Terkait dugaan mark up harga dan perubahan jumlah mobil pemadam kebakaran yang dibeli sehingga negara rugi hingga Rp 4,719 miliar, pensiunan TNI itu berkilah bahwa perubahan jumlah pengadaan mobil dari 26 menjadi 20 unit dengan perincian 13 unit tipe Forser TLF dan 13 unit V 80 ASM sudah dibahas Panitia Anggaran DPRD Riau yang ditetapkan dalam APBD Riau tahun 2003.
Menurutnya, karena inisiatifnya merubah jumlah mobil pemadam yang dibeli beserta sepesifikasinya justru menjadikan anggaran negara dapat dihemat. Saleh menyebutkan, semula Pemprov Riau hendak membeli 26 unit mobil namun atas inisiatifnya pembelian menjadi 20 unit saja. Atas inisiatifnya merubah spesifikasi dari jenis 13 unit Forser 8/30 serta 13 unit tipe V 80 ASM menjadi 20 unit jenis V 80 SM pula, kata Saleh, justru terjadi efisiensi dan penghematan dalam penggunaan keuangan negara.
Sementara terkait penunjukan langsung kepada PT Istana Sarana Raya milik engky Samuel Daud sebagai rekanan dalam pengadaan pemadam, Saleh mengajukan pembelaan bahwa saat itu kondisinya sangat mendesak. "Pengadaan mobil pemadam kebakaran itu sangat mendesak untuk menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan di Riau," ujarnya.
Selain itu, kata Saleh melanjutkan, pengadaan mobil damkar juga didasarkan atas permintaan Depdagri melalui radiogram Ditjen Otda Depdagri Nomor 027/1496/Otda tanggal 13 Desember 2002 yang ditandatangani Dirjen Otda Depdagri Oentarto Sindung Mawardi. "Saya harus menghormati radiogram tersebut sebagai arahan dan PP Nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS. Sudah menjadi tradisi dalam birokrasi untuk mematuhi perintah kedinasan dari atasan," urainya.Meski demikian Saleh mengakui bahwa keeradaan mobil pemadam itu ternyata tidak efektif untuk mengatasi kebakaran hutan yang banyak terjadi di wilayah Riau. "Sedangkan untuk menghadapi kebakaran hutan perlu mobil pemadam kebakaran khusus yang harganya lebih mahal," ulasnya. Seperti diketahui, pada persidangan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut politisi dari Fraksi Partai Golkar ini dengan hukuman pidana penjara selama empat tahun dikurangi selama berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan dengan penetpan supaya terdakwa tetap ditahan. JPU juga menuntut Saleh untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 4,7 miliar.(ara)
JAKARTA – Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit -terdakwa perkara korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran Pemprov Riau- merasa menjadi
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Insight Investments & PKBI Berkolaborasi Bantu Korban Erupsi Gunung Lewotobi
- Kasus Timah, Saksi Ahli Soroti Pihak yang Berwenang Menyatakan Kerugian Negara
- Wamenlu Anis Matta Puji Upaya Bantuan Kemanusiaan untuk Palestina
- Jelang Natal & Tahun Baru, Senator Manaray Bersama Kemenhub Sepakat Awasi Harga Tiket ke Papua
- Hamdan Zoelva Berharap Hakim Kasus Tom Lembong Independen dan imparsial
- Kumpul Bareng Komunitas Tionghoa di PIK, Ridwan Kamil Gaungkan Toleransi