'Saya Dengar Lagu Indonesia Raya saja Masih Merinding'
"Baru beli rumah di Belanda tahun lalu karena sebelumnya uangnya saya pikir lebih baik untuk investasi dari satu usaha ke usaha lainnya. Supaya tambah besar dulu," jelas Ayun.
Punya usaha restoran sendiri, bagi Ayun, memang sudah cita-cita. Dimulai dari bekerja selama sembilan tahun di Belanda dan berhasil menabung sekitar 100 ribu gulden. Sebanyak 20 ribu gulden di antaranya kemudian digunakan sebagai modal awal mendirikan rumah makan.
"Selebihnya buat dana cadangan. Tapi, akhirnya tidak terpakai juga itu uang cadangan," ungkap pria kelahiran Jakarta pada 16 September 1956 tersebut.
Perjalanan Ayun di Belanda dimulai ketika ayah angkatnya berangkat ke sana dan tertarik ikut. Itu terjadi sekitar 21 tahun lalu atau kisaran 1993 tepatnya. Di sana Ayun sempat berkuliah di Jurusan Desain Grafis Gerrit Rietveld Academie. Namun, ketika akan memasuki tahun terakhir, Ayun menyambi bekerja di restoran. Baik itu restoran khas Indonesia yang sudah terlebih dahulu eksis maupun di kafe dan restoran khas Barat.
Selain itu, Ayun mengambil sekolah singkat enam bulan khusus untuk restoran dan hotel. Sambil kursus, dia tetap menyambi kerja di restoran. "Saya mulai dari cuci piring. Terus mengepel, terus pindah ke dapur," kenangnya.
Setiap hari Ayun bekerja sampai pukul 9 malam. Namun, tidak lantas pulang, dia lari ke restoran lain untuk mencari uang tambahan sampai tengah malam. "Seminggu saya bisa kerja sampai 100 jam. Resminya kan 40 jam dulu itu. Jadi, lemburnya 60 jam. Dulu sih happy saja ya. Tidur dua jam saja cukup," katanya lantas tertawa.
Tiga tahun tinggal di Belanda, Ayun langsung ditawari menjadi warga negara sana. Saat itu, dia ingat, lebih mudah mendapatkannya ketimbang harus mendapatkan kartu tanda penduduk di Indonesia. Sebab, sentimen terhadap etnis tertentu waktu itu masih kuat.
Dengan pertimbangan kemudahan proses dan keuntungan lain bahwa paspor Belanda bisa ke banyak negara tanpa butuh lagi visa, Ayun akhirnya menerima. Meski begitu, dia mengaku tidak akan pernah lupa akan Indonesia dan asal usul dirinya. "Saya dengar lagu Indonesia Raya saja masih merinding," ujarnya.
MULYATI Cahyono memulai kehidupan baru di Belanda bersama Effendi Ali pascakerusuhan 1998. Berdua mereka berhasil mengembangkan empat restoran setelah
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408