Saya Harus Mudik ke Mana Ya?
Senin, 29 September 2008 – 04:40 WIB
Begitu tiba di lokasi, kami kaget. Ini bukan masjid. Ini kuburan! Oh, orang Hambali ternyata mementingkan ke kuburan. Begitu sembahyang Idul Fitri selesai, semua mereka ke kuburan. Masjidnya banyak, tapi kuburannya satu. Jadi ramainya bukan main. Bazar makanan juga digelar di kuburan itu. Bahkan ada panggung promosi produk makanan baru dengan pengeras suara yang meriah. Inilah kuburan paling meriah yang pernah saya kunjungi. Hanya orang Islam yang boleh dikubur di Tiongkok. Yang bukan Islam harus dibakar. Abunya lantas ditempatkan di satu kuburan yang lebih simple: satu gedung besar, dengan laci-laci tempat abu. Kalau lagi Cing Bing, gedung ini juga ramai sekali didatangi para peziarah. Lokasi 'kuburan' abu ini, dengan kuburan orang Islam berdekatan.
Baca Juga:
Hari itu kami tidak sembahyang. Makan sate, roti pratta, melihat orang nangis-nangis di batu nisan dan lalu kembali ke rumah sakit. Upacara sungkem dari anak dan cucu dilakukan di kamar saya di rumah sakit.
Tahun ini, saya dapat hadiah Lebaran yang istimewa: pemeriksaan kesehatan saya (test darah, USG, CT Scan dan seterusnya) menunjukkan hasil yang sangat baik. Karena itu obat yang harus saya minum dikurangi lagi, tinggal dua macam: tacrolimus dan lamivudin. Tacrolimus untuk mensinkronkan hati baru dengan organ lain. Lamivudin untuk menstabilkan hati.
Hadiah istimewa yang lain: saya diundang menghadiri HUT rumah sakit ini. Bukan HUT-nya yang menarik. Tapi acaranya: sekitar 700 'alumni' ganti hati bereuni. Ramai sekali. Hanya saya yang dari luar negeri. Semuanya memiliki hati baru. (*)
DULU ketika masih bujangan, tentu hanya satu: mudik ke desa Tegalarum nun di pelosok Magetan. Setelah kawin, ada pilihan lain: ke mertua di
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi