Saya Saksikan Peristiwa Gedoran Depok dari Awal sampai Akhir

Saya Saksikan Peristiwa Gedoran Depok dari Awal sampai Akhir
Jannete Tholense. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Di sana saya melihat orang tangannya diikat ke belakang dan dicambuk. Entah siapa orang-orang itu. Mereka teriak-teriak. Saya sampai menangis melihatnya. 

Di depan rumah ada pohon mahoni. Saya melihat orang disiksa Jepang itu dari bawah pohon mahoni. Mereka dijemur tengah hari bolong. Begitu jam 12 siang mereka dipaksa melihat ke arah matahari.

Tahun 1944, karena situasi kacau, papa mengajak kami pulang ke Depok. Bapak punya teman seorang dokter. Dokter itu mengatakan kepada Jepang kalau papa saya kena penyakit TBC. Nah, Jepang takut sama penyakit, jadi papa dipulangkan ke Depok, kampung halaman kami.

Situasi di Depok saat itu seperti apa?

Di Depok hidup kami mewah sekali. Namanya juga kampung halaman. Sawah dan kebun luas. Dulu itu, sekali panen hasilnya bisa untuk dinikmati selama dua tahun, bisa Anda bayangkan betapa mewahnya. 

Hasil panen itu biasanya dibagi-bagi kepada saudara-saudara dan karyawan di Lio (pabrik genteng dan batu bata milik orang-orang Depok—sekarang lokasinya jadi Setu Rawa Basar di Kampung Lio, dekat Stasiun Depok Baru--red).

Nyaman sekali ya, apakah di Depok tidak ada Jepang?

Jepang ada di Depok, tapi situasinya tidak seperti di Bandung. Di sini lebih enak dan lebih mewah. Situasi di Depok menjadi kacau pada bulan Oktober 1945. Itulah gedoran!

BELUM genap dua bulan umur proklamasi, persisnya 11 Oktober 1945, meletus Peristiwa Gedoran Depok.  Apa yang sebetulnya terjadi saat Peristiwa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News