SBY, Peletak Dasar Stabilitas Ekonomi Pasca Krisis
jpnn.com - SAAT terperosok ke jurang krisis moneter 1998, sejumlah pengamat asing memprediksi Indonesia diprediksi tercerai-berai seperti nasib negara-negara Balkan di Eropa. Namun Indonesia lebih tangguh.
Tidak butuh waktu lama bagi negeri ini untuk merangkak naik dan keluar dari jurang krisis. Pelan tapi pasti, Indonesia menata kembali puing-puing reruntuhan ekonomi.
Tahun 2004 menjadi momentum krusial. Pemilu damai yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke kursi presiden, seolah menjadi energi untuk mendorong roda ekonomi bergerak lebih cepat.
Selama dua periode kepemimpinannya bersama Wapres Jusuf Kalla (2004 - 2009) dan Boediono (2009 - 2014), mantan jenderal yang suka bernyanyi ini telah berhasil membangun pondasi perekonomian yang kuat.
Ekonom senior yang juga mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan, prestasi besar SBY dalam satu dekade adalah menjaga pertumbuhan ekonomi di level cukup tinggi pada kisaran 4 - 6 persen.
Di dunia, hanya Tiongkok dan India yang bisa mencapai level itu dalam dekade ini. "Tapi, dalam hal stabilitas pertumbuhan ekonomi, Indonesia nomor satu di dunia," ujarnya.
Stabilitas itu ditopang kuatnya konsumsi domestik yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indikatornya jelas. Yakni, tumbuh pesatnya masyarakat berpendapatan menengah sehingga pendapatan per kapita pun terkerek naik.
Fenomenanya pun kasat mata. Salah satunya adalah belanja kendaraan bermotor yang menjadi cerminan kelas menengah. Tidak hanya sepeda motor yang penjualannya melesat, tapi juga mobil.
Berbagai indikator ekonomi lainnya mengonfirmasi geliat ekonomi Indonesia. Investasi langsung, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) terus menerus memecahkan rekor. Kuatnya investasi berdampak pada penyerapan tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran menyusut dan angka kemiskinan bisa ditekan.
Geliat perekonomian juga terlihat dari riuhnya pasar modal, mulai dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) hingga bertransformasi menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Gairah investor membuat harga-harga saham terus menguat. Bahkan, kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) hampir selalu masuk jajaran bursa dengan kinerja terbaik di dunia.
Dari sisi fiskal, membesarnya tubuh ekonomi Indonesia terlihat dari porsi APBN yang kian meraksasa. Pada 2004, nilainya masih di kisaran Rp 400 triliun. Tahun ini sudah mencapai Rp 1.800-an triliun. Bahkan 2015 sudah menembus angka fantastis: Rp 2.000 triliun.
Bagi daerah, membesarnya kapasitas fiskal ini berarti kucuran dana yang kian deras dari pemerintah pusat. Itu tecermin dari nilai transfer ke daerah yang terus naik. Untuk aparatur negara, imbasnya juga bisa dirasakan dengan konsistensi kenaikan gaji pokok untuk pegawai negeri sipil, TNI, Polri, dan pensiunan.
Tentu, ibarat tak ada gading yang tak retak, cemerlangnya prestasi ekonomi dalam satu dekade pemerintahan SBY juga tidak lepas dari catatan negatif. Salah satu yang paling mencolok adalah melebarnya ketimpangan yang tecermin dari rasio gini.
Artinya, kelompok kaya makin sejahtera dan kelompok miskin makin papa. Ini juga menjadi bahan introspeksi bahwa pembangunan ekonomi belum bisa dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
Catatan lain adalah meredupnya kinerja perdagangan internasional. Nilai ekspor dan impor memang terus naik, tapi impor naik lebih cepat. Akibatnya, neraca dagang yang dulu surplus, kini harus terseok-seok menderita defisit.
Yang memprihatinkan, kata Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati, dua sektor strategis, energi (minyak) dan pangan masuk dalam kategori ini. Kian tahun, ketergantungan BBM dan bahan pangan impor makin berat. "Ini diperparah dengan lifting atau produksi minyak yang terus merosot," katanya.
Catatan negatif inilah yang harus menjadi fokus koreksi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) -Jusuf Kalla (JK). Stabilitas pertumbuhan ekonomi perlu didorong menuju level yang lebih tinggi agar bisa makin banyak menyerap tenaga kerja dan makin cepat mengentaskan kemiskinan.
Tapi, apresiasi tetap layak untuk dihaturkan pada SBY yang sudah membangun pondasi kuat perekonomian Indonesia. (owi/sof)
SAAT terperosok ke jurang krisis moneter 1998, sejumlah pengamat asing memprediksi Indonesia diprediksi tercerai-berai seperti nasib negara-negara
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Melalui UMK Academy, Pertamina Dukung UMKM Bersaing di Tingkat Global
- Pupuk Kaltim Kembali Raih Predikat Platinum di Ajang ASSRAT 2024
- Pegadaian Gelar Media Awards 2024, Puluhan Jurnalis Raih Penghargaan
- Pertamina Regional Indonesia Timur Raih Penghargaan Internasional Best Practice GCSA 2024
- Mendes Yandri Susanto Sebut BUMDes Penting Cegah Efek Negatif Urbanisasi Bagi Desa
- Sertifikasi Halal Lindungi UMK dari Serbuan Produk Luar Negeri