Sebagai Aset Keuangan, Kripto Seharusnya tak Lagi Dikenakan PPN

Sebagai Aset Keuangan, Kripto Seharusnya tak Lagi Dikenakan PPN
Ilustrasi uang kripto. Foto: Philippe Lopez/AFP

jpnn.com, JAKARTA - Pajak kripto di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah muncul diskusi mengenai penerapan pajak terhadap airdrop serta transaksi di luar negeri.

CEO INDODAX, Oscar Darmawan, mengatakan meski regulasi pajak kripto sudah berjalan sejak 2022, masih ada tantangan dalam implementasinya, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 setelah dinyatakan sebagai komoditas yang sah diperdagangkan berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan.

Pada periode 2017-2022, pajak yang dikenakan bersifat self-reporting, di mana pendapatan dari kripto dilaporkan dalam SPT dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) progresif.

Sejak 2022, pemerintah Indonesia menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto di exchange berizin, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.

Oscar menjelaskan kebijakan ini lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berdasarkan keuntungan.

Menurut Oscar, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham.

Di negara lain, pajak kripto umumnya mengikuti skema Pajak Penghasilan (PPh) progresif, di mana semakin besar keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi pajak yang dikenakan dengan besaran tarif mengikuti pendapatan tahunan orang itu.

Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak berbasis keuntungan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News