Sebagai Aset Keuangan, Kripto Seharusnya tak Lagi Dikenakan PPN

Sebagai Aset Keuangan, Kripto Seharusnya tak Lagi Dikenakan PPN
Ilustrasi uang kripto. Foto: Philippe Lopez/AFP

"Seharusnya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Tapi karena belum ada mekanisme pemungutan oleh exchange luar, akhirnya trader yang harus melaporkan sendiri. Bahkan, di beberapa wilayah, pajak yang dikenakan masih menggunakan skema PPh progresif," kata Oscar.

Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak.

Oscar menyarankan agar para trader yang melakukan transaksi di exchange luar negeri berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak tempat mereka terdaftar.

"Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak masing-masing, yang bisa diajak berdiskusi mengenai bagaimana cara pembayaran pajak kripto yang sesuai dengan regulasi," tambahnya.

Oscar menilai skema pajak final ini sudah cukup baik, tetapi ada ruang untuk perbaikan, terutama terkait PPN. Menurutnya, karena aset kripto kini berada di bawah regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.

Jika PPN dihapuskan, biaya transaksi akan menjadi lebih kompetitif, sehingga mendorong lebih banyak investor untuk bertransaksi di dalam negeri daripada menggunakan platform luar negeri dan ujungnya pendapatan negara dari PPH akan mengalami peningkatan lebih besar.

Dengan semakin berkembangnya industri kripto di Indonesia, kebijakan pajak yang lebih fleksibel diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekosistem tanpa membebani investor dan trader.

"Seharusnya, sebagai aset keuangan, kripto tidak lagi dikenakan PPN," jelas Oscar.(chi/jpnn)

Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak berbasis keuntungan.


Redaktur & Reporter : Yessy Artada

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News