Sebaiknya Menteri LH Cabut Permen Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
jpnn.com - BOGOR - Sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 yang dinilai malapraktik dan rawan menjadi bancakan untuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo MS MPPA di sela-sela diskusi bertajuk “Menghitung Kerugian Lingkungan Dengan Permen LH No 7/2014, Tepatkah?“ di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12), menekankan kepedulian terhadap lingkungan tak serta merta mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi.
Dia menyebut sejumlah persoalan menjadi latar belakang desakan dicabutnya Permen LH 7/2014. Mulai dari metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena elemen yang terhitung dua kali, bahkan bisa tiga kali hingga penggunaan Permen LH 7/2014 sebagai penghitung kerugian negara dalam kasus hukum. Kemudian, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tak lantas dikembalikan untuk pemulihan lingkungan yang rusak.
“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak. Bayangkan, PNBP, artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka kerusakan negara harus tinggi, apa begitu, itu, kan, salah logika,” kata Sudarsono dalam keterangan tertulis, Jumat (13/12). “Kerugian lingkungan itu, oke kita hitung, terus kemudian berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi pada lingkungan, bukan PNBP. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Itu yang tidak terjadi,” tambahnya.
Parahnya lagi, lanjut Sudarsono, ahli yang ditunjuk menghitung kerugian negara dengan menerapkan Permen LH 7/2014 di berbagai kasus ialah ahli yang bersaksi. Hal itu terkesan negara tidak langsung menjadikan aturan tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP dengan dalih kerusakan lingkungan. “Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP). Jadi, PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan, tetapi jadi mobil baru. Yang menikmati bukan rakyat terdampak,” kata dia.
Sudarsono mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat merevisi Permen LH No 7/2014, bahkan mendesak pemerintah segera menyusun peraturan baru guna menggantikan aturan tersebut dengan melibatkan akademisi di foum-forum akademik. Hal itu untuk memastikan kebenaran prosedur dan metode penghitungan yang digunakan, sehingga nilai kerugian lingkungan dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
“Sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, maka demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan sebaiknya sangat dibatasi atau dihentikan sama sekali,” katanya.
Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc berpendapat, di Indonesia ganti rugi kerusakan lingkungan menjadi PNBP, sementara di luar negeri, seperti Amerika Serikat, sebagian besar dikembalikan ke alam dan bukan menjadi pendapatan negara. "Selain itu di Amerika penghitungan kerugian negara juga harus didiskusikan secara panel,” ucapnya.
Sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Permen LH Nomor 7 Tahun 2014.
- Pertalindo Konsisten Mendukung Kompetensi Penyusun Amdal
- PTPN IV Lakukan Terobosan dalam Mendukung Dekarbonisasi, Menteri Hanif: Kami Apresiasi
- Kementerian LH Tutup Pembuangan Sampah Ilegal di Bekasi
- UMJ Kukuhkan Tiga Guru Besar Baru, Selamat Ibu-Ibu Profesor
- Pertalindo dan Pemkot Semarang Sosialisasikan Amdalnet
- Perbedaan Data Kerugian Lingkungan Kasus Korupsi Timah Sorot Perhatian di Persidangan