Sebuah Keresahan Tentang Hak Cipta Karya Seni di Tengah Gempuran Teknologi AI

Sebuah Keresahan Tentang Hak Cipta Karya Seni di Tengah Gempuran Teknologi AI
Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki. Foto: dok. DKJ

Riri juga mengingatkan tidak ada yang tahu batasan teknologi di masa datang, khususnya AI.

Tidak ada yang bisa memprediksi seperti apa kompleksitas AI 10 tahun ke depan. Sebab, kompleksitas AI meniru kompleksitas otak manusia.

Pengawasan Masih Sulit

Pengacara Hak Cipta Dimaz Prayudha membenarkan banyak ruang terjadinya pelanggaran hak cipta ketika seseorang menggunakan AI Generatif untuk menghasilkan karya seperti artikel, lagu, dan lukisan.

Pasalnya, pengguna seringkali tak bisa mengontrol karya mana yang dipakai oleh mesin AI untuk menghasilkan karya baru. 

“Bagaimana cara mengontrol ciptaan tersebut tidak melanggar hak cipta? Karena ada ribuandata di situ. Kalau lagu 8 bar. Kalau bukan lagu bagaimana? Lukisan? Enggak bisa. Susah,” ujar Dimaz.

Namun, ketika seniman telah menolak karyanya digunakan untuk pengembangan AI, dia bisa menuntut pengguna (prompter) dan perusahaan AI, jika mesin AI terbukti mengambil karyanya.

"Yang bisa ditarik sebagai pihak yang digugat pertama adalah si pengguna mesin AI (pemberi instruksi atau prompt), dan yang kedua adalah perusahaan AI itu sendiri karena menciptakanmesin yang memungkinkan pengambilan karya ini terjadi,” kata Dimaz. (flo/jpnn)

Banyak ruang terjadinya pelanggaran hak cipta ketika seseorang menggunakan AI Generatif untuk menghasilkan karya seperti artikel, lagu, dan lukisan.

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News