Sedih Tidak

Oleh: Dahlan Iskan

Sedih Tidak
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Setelah tamat Al Amin, Ahmadie harus "mengabdi" dua tahun, mengajar tanpa gaji. Seperti itu pula tradisi di Gontor, Ponorogo.

Setelah itu dia ingin masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Atau UGM. Ditolak. Alasannya: hanya lulusan pondok --masih ikut aturan lama, padahal secara keilmuan banyak pun sarjana IAIN yang tidak sehebat dirinya.

Sambil lontang-lantung di Jogja, Ahmadie menerjemahkan kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Juga Ar-Risalah karya ulama dunia Imam Syafii. Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali. Shahih Bukhari dan banyak lagi.

Lontang lantung tetapi produktif.

Ahmadie pun ke Jakarta. Dia masuk Universitas As-Syafiiyah, sampai tingkat sarjana muda. Dari situ barulah bisa lanjut kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selesai 1996.

Di Ciputat, Ahmadie aktif di HMI. Mulai banyak pula menulis --sering dimuat di majalah yang didirikan Buya Hamka, Panji Masyarakat.

Dia juga mendiririkan kelompok studi LSI (Lingkaran Studi Indonesia). Nama LSI belakangan dipakai Denny JA dan Saiful Mujani, keduanya sama-sama rekan aktivis Ahmadie.

Di Jakarta Ahmadie kenal dengan seniman teater Amak Baljun. Diajak masuk Tempo. Satu angkatan dengan Zaim Uchrowi. Saya sudah meninggalkan Tempo saat itu --ditugaskan ke Jawa Pos.

Baik juga. Sesekali medsos memperdebatkan soal-soal yang mendasar: bisakah kebaikan datang dari semua agama. Atau hanya ada satukah kebenaran.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News