Sekali Tampil untuk Lomba, Rp 3 Juta Sudah di Tangan
DI Sumbawa ada tradisi lomba pacuan kuda yang jokinya anak-anak kecil. Hebatnya, bocah-bocah ingusan itu cukup mahir mengendalikan kuda pacu masing-masing. Padahal, mereka berlaga tanpa perlengkapan apa-apa.
-------------------
NARENDRA PRASETYA, Sumbawa
-------------------
Terik matahari disertai debu yang beterbangan menjadi pemandangan biasa di Desa Penyaringan, Moyo Utara, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Timur. Sebab, pada musim kemarau seperti saat ini cukup lumrah bila sabana di desa itu -yang biasanya berumput hijau-kering kerontang. Hewan-hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kuda yang biasa merumput di situ harus mencari lahan lain yang lebih subur.
Desa di sebelah timur laut Kota Sumbawa Besar tersebut pada hari-hari biasa jarang dikunjungi orang luar. Namun, hari itu, Minggu (15/9), Penyaringan mendadak ramai. Ratusan orang hilir mudik keluar masuk desa tersebut. Sebagian di antara mereka membawa serta kuda-kuda pacu.
Ya, hari itu akan diadakan pemanasan lomba pacuan kuda di Kerato Angin Laut. Itulah pacuan kuda tradisional yang sudah lama diadakan di desa tersebut secara turun-temurun. Hampir setiap tahun desa itu ramai dikunjungi orang luar dari berbagai penjuru kota untuk mengikuti lomba pacuan kuda tersebut atau sekadar menonton event tahunan itu. Di Sumbawa Besar, lomba balap kuda itu disebut main jaran.
Tak heran bila desa tersebut memiliki kerato, lapangan pacuan kuda. Juga kuda-kuda tunggangan yang terlatih. Selain itu, jangan lupa, para joki cilik yang gagah berani dan siap bertarung memacu kudanya sekencang mungkin. Ajang tersebut pada awalnya bertujuan melihat seberapa jauh si pemilik kuda merawat piaraannya dengan baik.
Namun, siang itu lomba belum digelar. Kuda-kuda beserta jokinya didatangkan di lapangan untuk sesi pengukuran dan penentuan kelas tanding. Sedangkan tanding resminya baru dilangsungkan akhir bulan ini dalam sebuah festival budaya.
Tidak ada yang tahu secara pasti kapan tradisi main jaran dimulai. Yang jelas, festival budaya tersebut biasanya diadakan antara Mei-Oktober, saat musim kemarau. Yang menjadi ciri khas lomba balap kuda itu adalah tidak adanya joki dewasa yang boleh ikut bertanding. Semua jokinya masih anak-anak dengan usia sangat belia, 6-12 tahun!
Walaupun masih anak-anak, nyali mereka cukup besar. Mereka menunggang kuda hanya dengan pengaman helm di kepala, tanpa pelana atau perlengkapan standar berkuda lainnya. Jatuh dari kuda atau bahkan terseret kuda yang berlari kencang seolah sudah lazim. "Sudah biasa," ujar Reza Ferdiansyah, 11, salah satu joki cilik, kepada Jawa Pos.
Padahal, arena permainan seperti itu bukanlah tempat yang aman bagi anak-anak seusia Reza. Tapi, kenyataannya, sudah banyak anak dari Sumbawa Besar ataupun kabupaten lain di Pulau Sumbawa yang menguji nyalinya dengan mengikuti tradisi tersebut. Kalaupun sudah tradisi, masyarakat semestinya perlu memikirkan pengamanan yang lebih baik bagi para joki yang rata-rata murid SD itu.
Menurut Sanafiah, ayah Reza, beberapa tahun lalu lomba pacuan kuda dengan joki cilik itu sempat dilarang pihak keamanan di Sumbawa Besar. Namun, pelarangan itu tidak semata-mata disebabkan faktor joki cilik, melainkan karena ajang tersebut sering digunakan untuk berjudi. Maklum, meski yang menunggangi kuda anak-anak kecil, uang yang berputar di balik itu lumayan besar. Bisa sampai ratusan juta rupiah.
Faktor uang itulah yang membuat orang-orang tua di Sumbawa pada umumnya tidak takut untuk melepas buah hatinya mengikuti pacuan kuda. Bahkan, tidak jarang yang menjadi joki kuda pacuan secara turun-temurun. Reza contohnya. Dia menjadi joki karena ayahnya saat masih kecil juga menjadi joki. Kini dua adik Reza juga disiapkan untuk mengikuti jejak kakaknya.
"Ketika masih kecil, saya juga menjadi joki kuda seperti ini. Jadi, tidak ada sedikit pun rasa khawatir kalau anak saya akan kenapa-kenapa di sini. Buktinya, sampai sekarang dia masih baik-baik saja," kata Sanafiah.
Reza menjadi joki cilik sejak masih duduk di bangku TK. Dia sudah berkali-kali mengikuti lomba balap kuda di Sumbawa. Sanafiah mengakui bahwa uang yang dihasilkan anaknya dari pacuan kuda itu cukup besar. Untuk satu kali main saja, Reza akan mendapatkan Rp 3 juta. Belum lagi jika Reza menang di setiap balapan.
"Kalau menang, bisa dapat Rp 1 juta lagi. Kadang kalau hadiahnya motor, anak saya dapat uang dua kali lipat," beber pria 30 tahun yang sehari-hari menjadi petani tersebut.
Reza tinggal di Desa Utan yang berjarak 58 kilometer dari Moyo Utara sehingga tak perlu berjam-jam untuk sampai di arena lomba. Sejumlah joki lain tinggal di kawasan yang cukup jauh. Antara lain, Bima, sekitar 250 kilometer dari Desa Moyo Utara, tempat lomba. Untuk menempuh jarak itu, diperlukan waktu sampai enam jam perjalanan darat.
Bisa dibayangkan jika mereka harus menempuh perjalanan setengah hari hanya untuk pulang dan pergi dari rumah ke tempat lomba. Karena itu, biasanya para joki dan kudanya yang datang dari tempat yang jauh menginap beberapa hari di Sumbawa Besar. Tak heran bila beberapa joki akhirnya putus sekolah karena sering bolos. Anak-anak itu akhirnya lebih senang menjadi joki daripada harus bersekolah.
Meski begitu, Sanafiah mengaku tetap memperhatikan masa depan anaknya. "Saya akan berusaha mencegah anak saya putus sekolah," klaimnya.
Salah satu pemilik kuda dari Kabupaten Bima, Nyonya Rukmini Alimudin, mengatakan bahwa wewenangnya sebatas di lapangan. Dia tidak ikut mengurusi kehidupan si joki di luar kerato.
"Kalau mereka ada apa-apa di lintasan, seperti jatuh atau apa, kami akan tetap menanggung biaya perawatannya," tutur perempuan yang berusia 43 tahun itu.
Sedangkan untuk urusan sekolah joki, pemilik kuda tidak punya tanggung jawab. Itu menjadi tanggung jawab orang tua joki. "Semua disepakati sejak awal oleh orang tua joki dan pemilik kuda. Jadi, soal pendidikan dan lain-lain, itu bukan tanggung jawab kami," jelasnya. (*/c11/ari)
DI Sumbawa ada tradisi lomba pacuan kuda yang jokinya anak-anak kecil. Hebatnya, bocah-bocah ingusan itu cukup mahir mengendalikan kuda pacu masing-masing.
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara