Sektor Telekomunikasi Lebih Tahan Fluktuasi
jpnn.com - JAKARTA - Kenaikan BI rate 50 basis poin pada akhir Agustus lalu rupanya belum sepenuhnya menenangkan pasar. Meski di dalam negeri nilai tukar rupiah cukup stabil, tapi di pasar spot masih terus bergejolak. Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, kenaikan BI rate memang bisa memancing investor untuk tetap menempatkan dananya di Indonesia, sehingga menahan depresiasi rupiah.
"Tapi yang paling penting adalah fundamental ekonomi. Kalau defisit terus membesar, BI rate naik berapapun investor tetap menarik uangnya dari Indonesia," ujarnya kepada Jawa Pos (2/8).
Data Bank Indonesia (BI) berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor), rupiah kemarin menguat tipis dari Rp 10.924 per USD pada Jumat lalu (30/8) menjadi Rp 10.922 per USD. Penguatan ini kemungkinan didukung intervensi BI. Sebab, di pasar spot rupiah melemah signifikan. Data kompilasi Bloomberg menunjukkan rupiah kemarin ditutup di level Rp 11.371 per USD. Angka itu melemah 187 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu.
Secara keseluruhan, kemarin rupiah bergerak sangat fluktuatif. Rupanya, investor terus mengikuti rilis data inflasi dan kinerja ekspor-impor Indonesia yang diumumkan BPS. Setelah rilis data inflasi di bawah proyeksi, rupiah sempat menguat hingga posisi Rp 10.941 per USD. Namun setelah rilis data defisit neraca perdagangan yang memburuk, rupiah anjlok hingga Rp 11.371. Berita defisit neraca dagang terbesar sepanjang sejarah itu memang muncul di hampir seluruh media internasional.
Di tengah berita kelabu terkait rupiah yang terus bergejolak, Indonesia bisa sedikit bernafas lega karena pelemahan nilai tukar saat ini tidak berpengaruh signifikan bagi sektor perbankan. Direktur PT Fitch Ratings Indonesia Julita Wikana mengatakan, riset terbaru Fitch menunjukkan kekebalan sektor perbankan Indonesia terhadap gejolak rupiah. "Pelemahan ekonomi memang akan berpengaruh pada kinerja perbankan, tapi tidak akan merusak profil kredit," ujarnya kemarin.
Lembaga pemeringkat terkemuka ini menyebut, bank-bank besar di tanah air saat ini sudah melakukan langkah lindung nilai (hedging) untuk utang dalam denominasi USD. "Selain itu, perbankan juga memiliki dana cadangan yang cukup untuk jaga-jaga," katanya.
Untuk industri telekomunikasi, hasil kajian Fitch juga cukup menggembirakan. Menurut Julita, sebagian besar pelaku industri telekomunikasi sudah melakukan langkah hedging pada utangnya. "Apalagi sebagian besar utang bersifat jangka panjang," ucapnya. Namun, Fitch menyebut Indosat sebagai salah satu perusahaan yang memiliki eksposur paling besar terhadap gejolak rupiah. Sebab, dari total utang valas USD 950 juta, hanya 25 persen yang sudah di-hedging. "Tapi utang yang akan jatuh tempo dalam jangka satu tahun hanya USD 70 juta," ujarnya.
Perusahaan lain seperti Telkom, XL Axiata, serta dua dua perusahaan penyedia tower PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk juga cukup kebal terhadap gejolak rupiah karena utang valas dalam level aman. (owi/oki)
JAKARTA - Kenaikan BI rate 50 basis poin pada akhir Agustus lalu rupanya belum sepenuhnya menenangkan pasar. Meski di dalam negeri nilai tukar rupiah
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi