Selain Beras, Data Rumput Laut Juga Bermasalah
jpnn.com, JAKARTA - Data produksi sejumlah komoditas pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan, masih perlu dibenahi. Setelah kisruh beras akibat data yang tidak valid, rumput laut pun segera menyusul.
Produksi rumput laut diklaim berlebihan, tetapi pelaku industri pengolahan justru kesulitan bahan baku. Jika tidak dibenahi, data yang simpang siur tersebut akan selalu melahirkan kebijakan yang tidak tepat.
Demikian seruan Asosiasi Industri Rumput Laut (Astruli) dalam sebuah diskusi internal di Jakarta, Kamis (18/1), menyikapi data yang simpang siur sehingga berdampak pada dunia usaha pengolahan dan industri rumput laut.
Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Umum Astruli Soerianto Kusnowirjono, Wakil Ketua Umum Astruli Sasmoyo Boesari, Sekjen Astruli Arman Arfah, dan beberapa pelaku industri rumput laut. Astruli beranggotakan 21 pelaku industri dengan kapasitas sekitar 76 persen dari total produksi olahan rumput laut nasional.
Soerianto dan Sasmoyo mengatakan fenomena data produksi beras yang tidak akurat, bahkan antarinstansi pemerintah, telah berdampak luas dalam kebijakan dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada rumput laut dan berdampak pada beberapa aktivitas industri turunan rumput laut.
“Para pelaku industri pengolahan rumput laut merasakan hal yang sama terkait data produksi yang tidak tepat. Ini harus segera dibenahi agar tidak berlarut-larut,” kata Soerianto.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata Sasmoyo, data produksi rumput laut terus meningkat. Namun, para pelaku industri pengolahan rumput laut justru kesulitan bahan baku. Jika produksi berlebihan seharusnya harga rumput laut turun di pasaran. Faktanya, terjadi kenaikan harga di beberapa sentra rumput laut sejak akhir 2017 lalu. Kenaikan harga itu karena pasokan rumput laut yang terbatas atau sedikit.
“Saat ini yang terjadi malah sebaliknya. Produksi diklaim berlebihan, tetapi harga rumput laut kering tetap tinggi. Biasanya harga berkisar sekitar Rp 9.000 - 10.000 per kilogram, tetapi sejak akhir 2017 lalu malah naik menjadi Rp 25.000 per kilogram. Ini kondisi yang sangat aneh. Kalau produksi berlebihan, harganya harus turun,” kata Presiden Direktur PT Indonusa Algaemas Prima ini.
Seperti diketahui, data produksi rumput laut kering dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2016 mencapai 1,1 juta ton dan ekspor sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 188.298 ton. Sedangkan pembelian oleh industri dalam negeri baru sekitar 135.000 ton sehingga ada kelebihan produksi pada tahun 2016 mencapai 776.702 ton rumput laut kering.
Produksi rumput laut diklaim berlebihan, tetapi pelaku industri pengolahan justru kesulitan bahan baku.
- Beri Asistensi ke Pelaku Industri, Bea Cukai Cikarang Gelar CVC ke 2 Perusahaan Ini
- Iswar Membayangkan Kota Semarang jadi Pusat Pengembangan Ekonomi Jawa, Ini Alasannya
- Prospek Industri Kimia Meningkat, ICIIS 2024 Kembali Digelar
- Dukung Langkah Prabowo Selamatkan Sritex, Komisi VII DPR Bakal Lakukan Ini
- Wujudkan Komitmen, Bea Cukai Terbitkan Izin Fasilitas KITE Pembebasan untuk Perusahaan Ini
- Sritex Dinilai Pailit Bukan karena Permendag, tetapi Mismanagement Utang