Semobil, Serasa dengarkan Kaset Kartolo, tapi tanpa Kaset
Guyonan pertama itu langsung mencairkan suasana. Masukan demi masukan kami terima dari Kartolo. Misalnya, soal istilah ludruk. Menurut suami Kastini itu, ludruk kudu komplet. Harus dibuka dengan remo, lalu ada pakem-pakem yang tak boleh terlupa. Maka, disepakati nama pentas itu adalah Jula-Juli Riyayan Kartolo Cs. Istilah jula-juli itu juga dipakai Kartolo dalam kaset-kasetnya yang jumlahnya lebih dari 100 album.
Pembahasan sinopsis cerita itu pun tak jarang membuat perut mengeras karena terkikik. Misalnya, saat Kartolo mengusulkan agar selain Kades, muncul tokoh Budes (ibu kepala desa) dan Bedes (bendahara desa).
Meski begitu, pertemuan malam itu tidak melulu berbicara tentang hahahihi. Kartolo juga terlihat cukup serius mempersiapkan pentasnya. Dia meminta panitia menuliskan secara detail nama acara, sejarah festival, nama-nama undangan, termasuk nama ketua panitia. ’’Gawe bahan ngidung,’’ ungkap lelaki yang kumisnya sepanjang paku dudur (paku besar) itu.
Kartolo juga memastikan bahwa tema lawaknya jauh dari unsur politis. Itu benar-benar dia jauhi. Karena itu, Kartolo sama sekali ogah melawak untuk partai atau caleg pada pemilu lalu. Dia tetap memilih jalur sendiri, jalur bersahaja yang disukai rakyat berbagai lapisan. Itu, rasanya, yang membuat namanya tak pernah ’’cemar’’ lantaran menjadi partisan.
Ya, Kartolo memang beda. Banyak seniman lawak yang hanya lucu di panggung. Di luar itu, seriusnya luar biasa. Tapi, Kartolo enggak. Lucunya luar dalam, atas bawah. Itu terasa betul saat kami menjemput Kartolo di rumahnya menjelang pentas. Sebagai penampil profesional, dia sudah mempersiapkan semua. Kartolo, Sapari, dan Kastini sudah siap dengan kostum pentas plus riasan sendiri.
Nah, semobil dengan Kartolo adalah pengalaman mengesankan. Ketika itu, kami duduk di depan. Sedangkan tiga pelawak tersebut duduk ngruntel di barisan jok tengah. Sepanjang perjalanan, kami rasanya seperti menyetel kaset lawakan Kartolo. Bedanya, ini tanpa kaset. Pelawaknya benar-benar hidup dan bercakap-cakap di belakang kami!
Misalnya, saat mobil melintas di Pasar Simo, Sapari tiba-tiba nyerocos. ’’Wingi ndik kene onok wong dodol melon, mari diambungi, terus dikamplengi (Kemarin di sini ada penjual melon, setelah dicium-cium, lalu ditampar-tampar, Red),’’ katanya. Kartolo langsung menyahut, ’’Lha iya, ngono ae bojone ngamuk (Lha iya, begitu saja kok suaminya marah, Red).’’ Tentu, yang dimaksud Sapari bukanlah kekerasan dalam rumah tangga. Yang dikamplengi dan diambungi itu adalah melonnya, bukan penjualnya. Tawa pun meledak.
Demikian pula saat Sapari menggerutu karena ditarik uang parkir ketika sedang duduk di motor saat di pasar. ’’Gak ngarah ilang, sepedaku. Wong iki wis tak jaga dhewe, tak lungguhi dhewe. Mosok katene ilang (Sepedaku tidak mungkin hilang. Ini sudah saya jaga sendiri, saya duduki sendiri. Masa bisa hilang, Red),’’ kata Sapari. Kartolo menimpali lagi, ’’Ngomongo ngene, Ri, ’Koen ngerti aku sopo?’ Engkuk lak wonge gak eruh.’’
SEORANG penggemar tiba-tiba menghampiri Kartolo di dalam gedung DPRD Jatim pada Minggu malam (20/7). Gedung itu memang menjadi ruang transit, ruang
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408