Semua Tentang Jazz Indonesia Berawal dari Sini
Pub yang satu ini boleh dikatakan yang tertua di Jakarta. Berdiri pada pertengahan 1975, The Jaya Pub akhirnya tutup Sabtu lalu (3/5). Salah satu panggung terbaik musik jazz di tanah air itu harus diratakan untuk pelebaran Kali Cideng.
DIAR CHANDRA, Jakarta
Histeria meledak begitu intro Sweet Child O"Mine milik band legendaris Gun N" Roses diraungkan gitaris Gimme Five Band. Suara denting gelas minuman mengiringi home band yang tampil lebih dari 1,5 jam itu. Sekitar 300 orang dini hari sampai menjelang fajar, Minggu (4/5) tampak bersenang-senang tanpa beban.
Seluruh pengunjung The Jaya Pub tampak menggila. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan bernyanyi, ngobrol, dan tertawa. Para pengunjung bercampur baur dan tampak akrab di ruang seluas 240 meter persegi tersebut.
Jika biasanya pada Sabtu malam pentas band hanya sampai pukul 02.00 WIB dan hanya tampil dua home band, khusus akhir pekan lalu semuanya ditambah. Waktu bertambah sejam dan band pun tampil sampai hampir subuh. Menjelang tengah malam, para pengunjung semakin kalap memesan makanan dan minuman di Jaya Pub setelah sang pemilik, aktor senior Frans Tumbuan, mengumumkan pub memberikan diskon 10 persen untuk makanan dan minuman kepada seluruh pengunjung malam itu.
"Ini adalah pesta. Semua yang sudah hadir terima kasih. Saya harap setelah Jaya Pub pindah ke lokasi baru, semuanya masih menyempatkan berkunjung. Enjoy the night," ucap Frans yang langsung disambut tepuk tangan panjang.
Itulah gambaran kemeriahan "acara perpisahan" Jaya Pub pada Sabtu malam lalu. Pub yang memasuki usia ke-39 tahun itu akan direlokasi ke tempat baru, masih di kompleks Gedung Jaya di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Bangunan lama akan diratakan untuk proyek pelebaran Kali Cideng oleh Pemprov DKI Jakarta.
Relokasi itu menyusul niat Pemprov DKI Jakarta mengurangi genangan banjir di Jalan M.H. Thamrin. Agar genangan di kawasan sekitar Sarinah dan Djakarta Theater cepat kering, akan dibangun terowongan saluran air berikut rumah pompa di Kali Cideng. Saluran air yang dibangun dari Jalan M.H. Thamrin hingga Jalan Tarakan itu akan menyedot genangan banjir dan menyalurkannya ke Kali Cideng yang berada persis di belakang Gedung Jaya. Sebuah pompa akan menyedot air dari Kali Cideng dan membuangnya ke Kanal Banjir Barat.
Jaya Pub yang menempati bangunan lantai 2 di belakang Gedung Jaya terimbas. Pub yang tampil dengan interior khas berupa cat warna cokelat tua itu harus digusur karena berada persis di tepi Kali Cideng. Karena usianya, kelab tersebut memang sudah selayaknya berbenah. Beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu sudah reyot. Poster film di era 1940-an yang dipigura di tembok samping tangga tampak sudah usang dimakan usia.
Jaya Pub didirikan pasangan artis Frans Tumbuan-Rima Melati pada 1975. Frans yang terinspirasi bruine cafes (kafe cokelat, Red) di Amsterdam menginginkan adanya tempat minum yang bisa dikunjungi bersama pacar, istri, ataupun mertua. "Saya tahun 1973 balik ke Jakarta setelah tahun 40-an saya sekeluarga pindah ke Belanda. Saya gak nemu tempat yang bisa menikmati kopi atau minuman lain dengan konsep tidak mewah seperti bruine cafes. Di mana bisa ngobrol asyik dengan siapa pun. Akhirnya saya bikin The Jaya Pub ini," tutur Frans.
Pada 1970-an modal yang dikeluarkan pria asal Bandung itu tak terlalu besar untuk membangun kafe. Seingat Frans, dirinya merogoh kocek sekitar Rp 5 juta untuk mendirikan kelab tersebut.
Ketika memilih lokasi, Frans langsung merasa cocok dengan gudang kecil di belakang Gedung Jaya. Tak terlalu besar dan tidak berada di pinggir jalan besar. Frans lantas meminta izin Ir Ciputra sebagai direksi Jaya Group untuk menyulap gudang tersebut sebagai pub.
Desain interiornya, sesuai dengan bruine cafes yang dibayangkan Frans, semuanya serbakayu. Lalu, ditaruhlah dua meja bar di dalam pub itu. Masuk 1976, barulah ada sebuah piano besar di tengah bar utama.
Interior Jaya Pub juga dihiasi banyak poster film, musisi, dan artis mancanegara. Tulisan-tulisan menggelitik pun dibikin sendiri oleh Frans sebagai salah satu identitas pub. Salah satu yang terkenal adalah This Mess Is A Place.
"Cerita dapat piano itu juga unik. Salah satu warga asing yang rutin berkunjung ke Jaya Pub saat itu akan kembali ke negaranya. Dia ingin pianonya tersebut bisa dimainkannya lagi ketika suatu saat kembali ke Jakarta. Akhirnya dia menjual kepada saya piano itu. Tahun "80-an, saat kembali ke Jaya Pub, dia akhirnya memainkan lagi pianonya tersebut," kenang pria yang sudah membintangi puluhan film itu.
Karena konsepnya yang menyerupai bruine cafes, banyak pengunjung Jaya Pub yang berasal dari mancanegara. Meski, pengunjung kafe yang berasal dari dalam negeri juga banyak. Niat Frans mendirikan Jaya Pub adalah mempertemukan budaya Barat dan Timur.
Pada awal tahun Jaya Pub berdiri, Frans turun langsung ke bar. Dia ikut menjadi bartender di meja bar utama. Dengan jalan tersebut, Frans yang pemilik Jaya Pub dengan cepat bisa membaur dengan tamu-tamunya. Setahun setelah berdirinya Jaya Pub, Frans mulai melihat kebutuhan adanya musik di dalam pub miliknya. Karena Frans menggemari musik jazz, diundanglah musisi jazz untuk tampil di pubnya.
"Saya putuskan merombak desain interiornya. Stage saya bangun di belakang bar utama. Mungkin ini satu-satunya di Indonesia di mana bar utama menyambung dengan panggung. Semuanya pun menjadi asyik," tutur Frans.
Para pelopor musisi jazz di tanah air seperti Vonny Sumlang, Idang Rasjidi, Kiboud Maulana, Peter F. Gontha, Ireng Maulana, Margie Segers, dan Ermy Kulit pernah manggung. Bahkan, sejak 1978, Jaya Pub punya program khusus Jazz on Sunday. Menurut Frans, James Brown, The Godfather of Soul asal Amerika Serikat itu, pernah nge-jam di Jaya Pub pada akhir 1970-an.
Berdasar obrolan para musisi pengisi Jazz on Sunday itulah, kemudian lahir event-event jazz tanah air. Mereka mengkreasi acara-acara jazz di Indonesia pada era 1970-an sampai 1980-an. Juga, banyak band jazz yang lahir dari Jaya Pub.
Bukan cuma musisi yang aktif yang sering berinteraksi sosial di Jaya Pub. Sutradara film Sjumandjaja, sastrawan W.S. Rendra, dan sutradara kawakan Teguh Karya pun sering main ke Jaya Pub. Rendra beberapa kali membaca puisi di panggung Jaya Pub.
"Karena Rendra, Sjumandjaja, dan Steve (sapaan Teguh Karya, Red) sering berkunjung, Jaya Pub ini pernah dicap sebagai kafe kiri, bahkan di Orde Baru masuk pengawasan. Saya bilang saya tak main politik dan Jaya Pub adalah tempat hiburan. Jadi, saya tak mungkin melarang teman-teman saya yang seniman ke sini," tutur Frans.
Pianis jazz Indonesia Idang Rasjidi membenarkan bahwa Jaya Pub adalah salah satu tonggak penting musik jazz Indonesia. Ketika di Jakarta belum ada kafe untuk menampung musisi jazz, Jaya Pub membuka diri. "Saya bermain di Jaya Pub periode "70-an sampai "80-an. Di situ embrio musik jazz tanah air dan Jakarta terus berkembang. Musisi-musisi jazz bertukar pandangan, saling sharing. Pokoknya, all about jazz di Jaya Pub ini. Bikin acara jazz sampai bikin jazz semuanya diobrolkan di situ," jelas Idang.
Karena itu, dengan adanya relokasi Jaya Pub, Idang sangat menyayangkan. Sebab, Jaya Pub termasuk kategori heritage bagi musisi jazz Indonesia.
Sementara itu, salah seorang ekspatriat asal Inggris yang berkunjung ke Jaya Pub Sabtu lalu sangat terhibur sekaligus sedih dengan kabar relokasi tersebut. Georgia Adam yang kali pertama berkunjung ke Jaya Pub pada 1979 mengenang kelab itu sebagai salah satu tempat hiburan terbaik di Jakarta.
"Saya masih muda ketika tiba di Jakarta kali pertama. Umur saya 25 tahun saat itu. Begitu menemukan Jaya Pub ini, saya langsung merasa di rumah. Saya khusus datang ke Jaya Pub malam ini (Sabtu malam, Red) untuk bernostalgia," ujar perempuan yang kini menjadi konsultan pembangunan di Singapura itu. (*/c10/kim)
Pub yang satu ini boleh dikatakan yang tertua di Jakarta. Berdiri pada pertengahan 1975, The Jaya Pub akhirnya tutup Sabtu lalu (3/5). Salah satu
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara