Sengketa Laut China Selatan, Admiral Amerika Singgung Negara Antagonis Pencuri Ikan
jpnn.com, JAKARTA - Komandan Keamanan Laut (Coast Guard) Amerika Serikat, Admiral Karl L Schultz, mengatakan bahwa AS mendorong kawasan perairan Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas dan mendukung alur perdagangan bebas.
Dalam konferensi pers melalui sambungan telepon dari Jakarta, Kamis, Schultz mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat di perairan Indo-Pasifik secara kolektif perlu berfokus pada upaya untuk menjaga kebebasan dan keterbukaan perairan di kawasan.
“Saya pikir jika terdapat area yang disengketakan, kita perlu merujuk pada mekanisme yang telah ada untuk mencari solusinya,” katanya.
Terkait Laut China Selatan dan Laut China Timur, Schultz mengatakan bahwa semua pihak yang bersengketa perlu mematuhi tatanan berdasarkan aturan atau rule-based order terkait kemaritiman.
Dia juga menekankan pentingnya menjaga perdagangan tetap terbuka dan menyelesaikan persengketaan kawasan dengan damai.
“Saya rasa para pelaku kawasan yang menekan dan antagonis, yang mengoperasikan kapal pemancing ikan di area-area yang disengketakan, saya tak yakin itu adalah wujud pemerintahan kemaritiman modern berdasarkan aturan yang ingin kami bela di kawasan,” ujar Schultz.
Dalam kesempatan tersebut, Schultz juga menjawab pertanyaan terkait kehadiran milisi China di kapal-kapal yang diakui sebagai kapal ikan di Laut China Selatan dan Laut China Timur.
Dia menggambarkan kapal ikan tersebut tampak seperti milik pemerintah karena dilengkapi persenjataan seperti tembakan air atau water cannon.
Amerika Serikat tidak akan pernah berpihak kepada negara yang bertindak semaunya di Laut China Selatan
- Joe Biden Larang Pabrik Baja Amerika Dijual ke Perusahaan Jepang
- Ada Faktor Cuan, yang Bikin Alot Negosiasi Pemerintah dengan Apple
- Menteri Rosan Sebut Tiongkok Berinvestasi Rp 120 Triliun untuk Indonesia
- Mantan Presiden Amerika Meninggal Dunia, Palestina Ikut Berduka
- CDC: Kasus Norovirus di Amerika Serikat Terus Meningkat Tajam
- Mahasiswa Asing Diminta Kembali ke Amerika Sebelum Pelantikan Donald Trump, Ada Apa?