Sensasi Terbang
Berarti penyelidikan soal pesawat yang gagal landing, ndlosor, slip, terpeleset, jatuh, hilang, itu bukan semata-mata urusan cuaca dan infrastruktur, tapi bisa jadi karena human eror? Wajar jika Indonesia adalah penyumbang rasio kecelakaan penerbangan dunia yang terbesar. Penerbangan di Indonesia itu hanya 1 persen dari seluruh dunia, tapi menyumbang 4 persen peristiwa kecelakaan pesawat.
Per satu juta penumpang, masih lebih dari 1 persen, kecelakaan. Rasio eror seharusnya nol koma, tidak boleh menembus digit satu. Lalu, apakah setelah peristiwa ini orang jadi trauma naik Lion? Atau takut lain pesawat? Dan bisnis transportasi udara ikut tersendat? Jawabannya, nggak juga! Deg degan iya, was-was iya. Tapi tanpa pesawat, rasanya tidak mungkin untuk menjangkau negeri yang panjangnya sama dengan Benua Eropa ini? Mati hidup, selamat tidak selamat itu soal nasib.
Jalan kaki di trotoar Tugu Tani, Gambir saja kalau nasib sial bisa ditabrak Xenia 9 tewas? Naik bus masuk jurang, masuk sungai, puluhan tewas? Naik kereta, tabrakan juga tewas? Naik kapal laut, diterjang badai, menabrak batu karang, juga bisa karam dan tewas? Apalagi naik pesawat yang berbasis teknologi? Yang membutuhkan level quality dan skill tinggi? Yang menuntut excellent physical performance tinggi? Pasti punya risiko. Ibarat bencana yang bisa menjadi malaikat pencabut nyawa, memang saatnya menerapkan disiplin tinggi terhadap profesi yang berisiko nyawa.
Kasus pilot sabu ini ibarat menyalakan early warning system. Alarm tentang disiplin dan gaya hidup pilot sudah memasuki zone merah. Sudah saatnya diatur lebih ketat, lebih keras dengan pencabutan lisensi. Begitu terbukti positif nyabu, tidak ada ampun, cabut lisensi terbang. Mirip dengan dokter, begitu terbukti melanggar etik dan aturan tertentu, cabut lisensi.
Atau pengendara mobil, cabut SIM-nya. Lebih baik menyusahkan satu kepala, daripada membuat nangis 100 keluarga! Perusahaan penerbangan juga harus memperhitungkan keselamatan penumpang, tidak hanya menghitung situasi demand pasar yang spektakuler saat ini. Batas 1 bulan 110 jam, dan 1 tahun 1050 jam itu sudah dihitung atas dasar rata-rata orang sehat jasmani menjalankan pekerjaan penuh konsentrasi.
Jika seminggu libur sehari, maka rata-rata 4,2 jam per hari. Tidak seperti kerja kantoran yang 8 jam per hari. Memang, bergaji besar, punya uang, dapat fasilitas macam-macam, tinggal di hotel berbintang, dan terbang hanya 4,2 jam sehari, itu persoalan tersendiri! Jauh dari keluarga? Terus mau ngapain? Kata orang, “Enak ya jadi pilot?” Kata pilot, “Enak apaan? Boring! Membosankan, dan lebih baik terbang lagi.
” Apalagi, kebutuhan pilot untuk industri pesawat terbang komersial Indonesia masih sangat kurang? Jika rata-rata per hari hanya 4,2 jam, cost-nya jadi terlalu besar. Karena itu ada overtime, bahkan ada maskapai yang malah lebih dari 8 jam per hari? Kalau overtime sih, oke-oke aja, produktif. Tapi kalau sabu-time, nah itu yang harus diakhiri sampai di sini! Titik. Jangan pakai koma!
*)Penulis adalah Pemred–Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.
APA sih enaknya nyabu? Di mana titik sensasinya? Beberapa redaktur INDOPOS saling berpandangan, lirik kanan kiri. Eh, ini diskusi redaksi, bukan
- Batal Didatangi Massa Buruh, Balai Kota DKI Lengang
- Jangan Menunggu Bulan Purnama Menyapa Gulita Malam
- Dua Kali Getarkan Gedung, Bilateral Meeting Jalan Terus
- Agar Abadi, Tetaplah Menjadi Bintang di Langit
- Boris Yeltsin Disimbolkan Bendera, Kruschev Seni Kubisme
- Eskalator Terdalam 80 Meter, Mengusap Mulut Patung Anjing