Senyum Muda
Oleh: Dahlan Iskan
Dari map itu akhirnya saya tahu: kelak akan ada 1.000 kota yang dilewati. Nama salah satunya: Buraydah. Bus akan sampai Buraydah kira-kira setelah lima jam melewati padang pasir berbatu. Atau enam jam dari Madinah.
Membaca nama Buraydah itu tiba-tiba muncul panggilan hati: turun di Buraydah. Tidak jadi ke Riyadh. Bermalam di Buraydah dulu. Di pedalaman Arab Saudi. Ingin tahu: seperti apa kota di tengah padang pasir.
Tinggal atur siasat: bagaimana agar boleh turun di kota sebelum tujuan. Saya siapkan jawaban-jawaban dari berbagai kemungkinan pertanyaan.
Bus ini pasti berhenti di Buraydah. Ini kota besar. Sudah waktunya sopir istirahat. Atau makan. Kenapa tidak ada informasi apa pun soal bus akan berhenti di mana saja. Tetapi saya maklum. Ini Saudi.
Go head. Saya pun lebih sering lihat map. Kian mendekati Buraydah kian kuat keinginan untuk turun di situ. Ke Riyadh-nya bisa keesokan hari. Toh, tidak ada janji bertemu dengan siapa pun di Riyadh.
Lalu terlihat bus keluar dari jalan raya. Saya tidak tahu itu di mana. Tidak ada jendela. Buraydah masih agak jauh –meski terlihat dekat di peta.
Saya intip dari jendela penumpang depan: ini masih padang pasir. Ini seperti rest area. Rest area pertama setelah perjalanan enam jam.
Ada pompa bensin. Ada kios-kios. Masjid. Toilet. Beberapa bus yang berhenti. Sedikit mobil kecil.