Siapa Mengingkari DIY Bukan Kerajaan?
Rabu, 01 Desember 2010 – 09:39 WIB
SEMULA Mendagri Gamawan Fauzi mencoba menahan diri untuk tidak terburu-buru mengomentari polemik 'monarki' Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meski polemik ini mencuat kuat sejak Sabtu (27/11), pria berkumis tebal itu tidak langsung terpancing mengeluarkan statemen. Dalam obralan dengan JPNN di bandara Soekarno-Hatta, Senin (29/11) siang, Gamawan berujar, dirinya baru akan mengeluarkan keterangan resmi Rabu (1/12), usai sidang kabinet yang antara lain membahas RUU Keistimewaan DIY. Namun, sepanjang hampir tiga jam menunggu pesawat berangkat ke Bengkulu untuk melantik Gubernur Agusrin Najamudin, di bandara Gamawan tampak serius membahas polemik monarki ini. Ponselnya hanya beberapa saat saja sepi, selebihnya serius menjadi alat konsultasi perkembangan kasus ini dengan sejumlah pihak. Setumpuk koran dan majalah dibaca cepat di ruang VIP bandara. Tampaknya tak betah juga. Sepulang dari Bengkulu, Selasa (30/11) siang, Gamawan melayani cegatan wartawan yang biasa mangkal di gedung Kemdagri. Inilah petikan pernyataan Gamawan.
Banyak kalangan menolak statemen Presiden. Tanggapan Anda?
Statemen presiden menyiratkan Gubernur DIY akan dipilih?
Tapi konstitusi juga mengakui kekhususan?
Banyak kalangan menolak statemen Presiden. Tanggapan Anda?
Itu kan suara yang terekam, yang tidak terekam kan banyak juga. Berapa persen itu yang menginginkan penetapan? Kita belum memutuskan itu, besok (Rabu, 1/12) akan ada sidang kabinet dan baru dalam sidang kabinet itu kita akan bahas bersama secara keseluruhan. Jadi sebenarnya, diskursus ini sudah terlalu awal dibahas. Baru presiden membuka pernyataan, akan membicarakan yang akan diberlakukan dalam UU DIY. Baru pengantar presiden saja, dimana pada satu pihak kita memperhatikan masalah monarki, dilain pihak ada amanat konstitusi dan aspirasi demokrasi. Tapi reaksinya sudah luar biasa.
Baca Juga:
Statemen presiden menyiratkan Gubernur DIY akan dipilih?
Ini kan monarki dalam bahasa ilmiah, kita menyebut itu dengan DIY. Bahasa ilmiah dari kerajaan itu kan monarki. Presiden menyebut dalam bahasa itu yang sebenarnya dalam konteks keistimewaan jogja. Keistimewaan jogja ini, kalau definisi monarki yang sederhana itu kan, goverment by the one, jadi dari raja secara turun temurun, kan seperti itu. Di satu pihak ada demokrasi, ada tuntutan dari UUD pasal 18, mengatakan gubernur dipilih secara demokratis. Itu bukan kata presiden, tapi UUD. Jadi presiden mempertimbangkan kondisi monarki dengan amanat UUD itu, itu yang akan dibahas dan belum disimpulkan.
Baca Juga:
Tapi konstitusi juga mengakui kekhususan?
Kekhususan kan tidak menyebutkan termasuk pasal 18 tadi. Kalau saya menafsirkan pasal, "gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis, kecuali....”. Nah itu baru kekhususan. Tapi kalau kekhususan itu disebutkan dalam ayat lain, kekhususannya apa? Memperhatikan kekhususan, keistimewaan. Kan kehususan tidak hanya soal pemilihan. Kehususan sebagai pemilik tanah disitu, ada keistimewaan kebudayaan, bagaimana pengaturan tentang kultural Jogja. Itu ada tujuh keistimewaan, enam sudah disepakati dengan dewan. Tinggal satu membicarakan bagaimana gubernur dipilih. Karena ada satu pasal dalam UUD yang menyebutkan, bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Kalau misalnya keistimewaan itu mengabaikan seluruh UUD, itu kan tidak mungkin. Keistimewaan itu untuk hal apa saja, itu yang akan dirumuskan. Tinggal satu tentang pemilihan itu, apakah otomatis atau dipilih. Kalau dipilih, apakah sama seperti pemilihan gubernur yang lain. Itu akan dirumuskan lagi dan besok (Rabu, 1/12) akan diputuskan. Kalau gubernur lain kan dicalonkan oleh partai politik, syarat dukungan 15 persen, boleh calon perorangan. Yang untuk Jogja, di situlah keistimewaannya. Mungkin tidak seperti itu, mungkin saja HB dan Paku Alam itu otomatis dan tidak perlu 15 persen. Itukan keistimewaan juga.