Singa Putih
Oleh Dahlan Iskan
Ia jalan kaki ke makam-makam Wali Sanga. Tidak hanya di Jawa. Juga di seluruh Sumatera. Dari Lampung, Padang sampai ke Aceh.
Sholeh mengenalnya untuk kali pertama saat jadi santri di Tebuireng. "Ia sering ngebleng: tidak keluar kamar tiga hari tiga malam. Hanya duduk. Tidak makan tidak tidur," ujar Sholeh.
Lalu menghilang lagi. Di pengembaraannya itulah ia menemukan perlambang singa putih. Yang mulutnya lagi mangap. Taringnya menyeringai.
Itulah yang kemudian menjadi nama pondok pesantren di Sentong ini. Juga menjadi lambangnya. Dan judul lagu himnenya: himne yang diciptakan sendiri oleh sang kiai.
Dalam pengembaraannya itu pula ia mendapat pertanda-pertanda: ia harus mendirikan pondok pesantren. Harus seperti zaman wali: santri tidak usah membayar.
Maka ia dirikan pondok Singa Putih itu. Santri harus mukim. Ia sediakan tempat. Ia sediakan makan. Mula-mula di rumahnya, ups, rumah ayahnya.
Lalu ia beli rumah di dekat situ. Beli lagi. Beli lagi.
Namun yang mau jadi santri di situ tidak banyak. Jarang yang kuat menjalani tirakat dan laku sufi seperti Kiai Syaifullah. Apalagi kalau harus ikut menjalani apa yang dilakukan kiai.