Siram Bensin
Oleh Dahlan Iskan
Sejak mahasiswa saya selalu membanggakan tradisi demokrasi di Amerika: yang kalah segera menelepon yang menang. Sebagai tanda menerima kekalahan dengan gentleman. Sekaligus mengucapkan selamat atas kemenangan lawannya.
Diskusi-diskusi demokrasi di kalangan aktivis mahasiswa selalu menceritakan tradisi sang sangat Amerika itu. Pun Al Gore. Malam itu, di tahun 2000, ia sudah mengucapkan selamat pada George Bush. Padahal suara penentu masih dihitung.
Memang Al Gore sempat menggugat kekalahannya yang hanya 600-an suara. Tapi kemudian juga langsung mengaku kalah.
Al Gore, capres dari Demokrat itu, memang pernah menggugat. Tapi Al Gore akhirnya bikin putusan di luar pengadilan: mengakui kemenangan George W. Bush dan mengucapkan selamat padanya.
Tahun 2020 ini Trump tidak hanya kalah tipis. Kekalahannya terjadi di lima negara bagian penentu: yang empat tahun lalu ia menang. Sebaliknya tidak satu pun negara bagian yang dulu ia kalah kini ia menang.
Sudah seperti itu pun Trump masih akan menggugat.
Belum lagi secara ''suara nasional'' pun Trump juga kalah. Tetap saja masih menggugat.
Tapi siapa tahu itu hanya gertak sambal. Siapa pula yang tahu kalau Senin pagi-pagi besok Trump tampil di twitternya: mengucapkan selamat pada Biden.