Sirna Rasa
Oleh: Dahlan Iskan
"Belum ada orang ke bukit itu lewat potong kompas seperti itu," kata mereka.
"Kita coba," kata saya.
Saya pun mendaki tebing itu. Yang lain ikut. Terpaksa. Termasuk para ustaz dari Pesantren Sabilil Muttaqin. Pesantren ini hanya 10 menit dari bukit itu.
Mas Yanto, bos Radar Cirebon yang juga direktur Disway ikut meski hanya bersandal. Kang Dadan, direktur Radar Tasik di depan saya. Kang Sahidin cari tongkat kayu untuk menarik saya dari atas.
Dapat sepertiga dakian, Ustaz Sahal menyarankan saya mokel. Mereka mengkhawatirkan umur saya. Saya juga mencoba tidak bergantung ke tongkat Kang Sahidin. Saya pegangan rumput rimbun di atas kepala saya. Saya jadikan rumpun rumput itu penarik badan saya. Rumput itu tercerabut.
Tongkat Kang Sahidin pun sangat bermanfaat. Istri and the gang sudah tidak bisa memonitor dari bawah.
Dapat setengah tanjakan saya sudah lima kali istirahat. Tapi kepala belum pening. Pandangan mata belum mengabur. Pohon-pohon tidak terlihat berputar. "Terus!" kata saya keras-keras. Di dalam hati.
Ketemulah jalan memutar di situ. Lalu ada tangga buatan menuju puncak. Tingginya 300 tangga. Mungkin salah hitung. Konsentrasi sudah digoyahkan oleh lapar, haus, dan godaan mokel. Tetapi saya ingin tes badan: apakah senam dansa saya setiap hari itu ada gunanya.