SKB Penanganan Radikal Dorong Kreativitas dan Daya Kritis ASN

SKB Penanganan Radikal Dorong Kreativitas dan Daya Kritis ASN
Emrus Sihombing. Foto: dok/JPNN.com

Menurut Emrus, pesan dan atau informasi tentang kebijakan serta program pemerintah yang disampaikan terkesan tiba-tiba, hampir dipastikan berpotensi menimbulkan pemahaman dan sikap yang sangat berwarna-warni. Selain itu, lanjut dia, bisa jadi menimbulkan penolakan dengan berbagai lontaran kemasan pesan.

“Terhadap SKB ini, misalnya,  bisa saja aktor sosial tertentu, karena kepentingan politik tertentu, menilai sebagai penghambat kreativitas dan menjadi legalisasi menuduh seorang ASN yang kritis sebagai radikal,” katanya. 

Padahal, kata dia, makna sebelas poin di SKB itu sangat bagus dan produktif bila didalami. Dari segi isi, Emrus belum menemukan narasi yang membatasi kreativitas ASN melaksanakan tugasnya. Selain itu, lanjut dia, tidak ada satu kata atau kalimat yang bisa menjadi legalisasi menuduh seorang ASN kritis sebagai radikal.

“Artinya, dengan SKB ini, kreativitas dan daya kritis dari seorang ASN yang terkait dengan tugas-tugasnya dipastikan tidak terhalang oleh SKB ini,” ujarnya.

Ia mencontohkan, salah satu kreativitas ASN dalam melaksanakan tugasnya sekalipun SKB ini diterbitkan, baru-baru ini Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrullah meluncurkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM).

Masyarakat bisa cetak sendiri KTP, KK, hingga akta kelahiran. Dengan hasil kreativitas ini, bisa menekan sekecil mungkin atau dapat meniadakan pungutan liar (pungli) terkait pelayanan identitas kewarganegaan bagi seluruh masyarakat yang datang ke ADM. “Inilah contoh kreativitas ASN yang profesional dan sekaligus melakukan fungsi pendidikan bagi masyarakat dalam melaksanakan tugasnya,” ungkapnya.

Dari sudut kritis, lanjut dia, maka dengan SKB ini justru setiap ASN dalam suatu instansi pemerintah menjadi lebih kritis. Misalnya, sesama anggota dapat menilai secara kritis perilaku ASN yang lain membentuk kelompok eksklusif. Mereka yang homogen dari sudut kepercayaan tertentu yang militan membentuk in-group tersendiri. Sementara ASN yang lain, sebagai out-group mereka. “Padahal, salah satu fungsi sosial ASN adalah perekat bangsa, menjungjung tinggi keberagaman, perilaku pluralis, mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam bangunan rumah bersama bernama NKRI,” paparnya.

Menurutnya, bila terjadi in-group - out-group dipastikan menimbulkan polarisasi di instansi pemerintah yang bersangkutan. Efek lanjutannya, kata dia, jika suatu in-group yang menguasai medan kementerian, misalnya anggota dari in-group itulah yang ditempatkan di posisi strategis dan jabatan basah. “ASN yang lain tinggal gigit jari, hanya bisa pasrah melihat perilaku eksklusivitas dari sekelompok ASN tersebut,” paparnya.

Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikal sebelas kementerian/ Lembaga yang juga berisi 11 butir larangan menuai pro dan kontra.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News