Skema Cost Recovery Dinilai Lebih Bisa Mendorong Investasi Migas
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Kholid Syeirazi Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi menilai skema cost recovery pada industri minyak dan gas bumi (migas) memiliki prinsip berbagi beban atau sharing the pain yang adil, bagi kontraktor maupun pemerintah.
Apalagi, pada cost recovery juga terdapat sistem dan proses yang ketat.
Kholid juga mengatakan skema cost recovery juga sesuai diterapkan di Indonesia dibandingkan gross split.
Sebab, saat ini sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong mature, sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk tetap mempertahankan produksi.
“Cost recovery paling fair, apalagi sumur-sumur kita sudah tergolong mature. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi,” ujar Kholid.
Menurut Kholid, skema cost recovery memang paling memungkinkan untuk mendongkrak produksi. Apalagi, saat ini Pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.
“Kalau kita misalnya punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak di tahun 2030 misalnya, tapi tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil,” kata Kholid.
Tak kalah penting, sumur-sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak. Oleh karena itu untuk mengangkat minyak tersebut, membutuhkan usaha dan teknologi yang mahal.
Skema kontrak gross split bakal memberatkan Pertamina Hulu Rokan untuk melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut.
- Konsorsium PHE, Sinopec & KUFPEC Teken Kontrak PSC Wilayah Kerja Melati, Ini Targetnya
- Pertamina Patra Niaga Raih 5 Penghargaan Keselamatan Migas 2024
- Pertamina Ditunjuk sebagai Secretary In Charge pada ASCOPE untuk Periode 2024-2029
- Jaga Keberlanjutan Energi Transisi, Pertamina Kembali Temukan Sumberdaya Gas di Sulawesi
- Derita Alumni
- BUMN Energi Tanzania Gandeng Pertamina untuk Jajaki Peluang Baru Sektor Hulu Migas