Sketsa Hukum Pemilu Indonesia
Oleh Benny Sabdo

Problematika yang muncul dari pengaturan yang demikian adalah apakah suatu pengawasan yang dilakukan terhadap diri sendiri dikatakan efektif.
Selanjutnya, apakah hasil pengawasan dapat dikatakan kredibel dan akuntabel. Mengingat yang diawasi adalah lembaga induknya.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo menafsirkan frasa “suatu komisi pemilihan umum” dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidaklah merujuk pada satu lembaga, tetapi pada fungsinya sehingga menurut Mahkamah Konstitusi, Bawaslu adalah setara dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Konstruksi inilah kemudian yang dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, yang disebut sebagai penyelenggara pemilu adalah KPU, Bawaslu dan DKPP.
Selanjutnya, lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu semakin memperkuat kedudukan dan kewenangan Bawaslu.
Bawaslu makin progresif dengan beberapa kebijakan baru. Ada dua poin penting dalam desain penegakan hukum pemilu, yaitu: Pertama, adanya pengaturan tentang sanksi administratif berupa diskualifikasi sebagai perserta pemilu.
Apabila seorang calon legislatif atau pasangan calon presiden dan wakil presiden melakukan pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif. Ketentuan ini belum diatur pada pemilu 2014.
Ketentuan ini lahir karena dorongan semangat untuk memberikan efek jera terhadap siapa saja yang melakukan politik uang dalam pemilu.
Hukum pemilu merupakan horison baru dalam ilmu hukum Indonesia. Belum banyak kajian yang menyelidiki tentang hukum pemilu.
- Bawaslu Konsisten Mengawal Demokrasi
- Paradigma Pemidanaan KUHP Nasional
- Fajar Alfian Minta Maaf Atas Ucapannya kepada Simpatisan Anies
- Ahmad Rofiq Optimistis Partai Gema Bangsa Bisa Jadi Peserta Pemilu 2029
- Sampaikan Laporan saat Rapur, Komisi II Punya 10 Catatan soal Evaluasi Pimpinan DKPP
- Peliknya Hukum Pidana Pemilu