Soal Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah Harus Dikaji Lagi

Soal Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah Harus Dikaji Lagi
Kerugian negara sebesar Rp 300 triliun pada korupsi timah harus dikaji ulang. Foto: Ricardo/JPNN.com

Sehingga, keberadaan penambang rakyat yang melakukan aktivitas penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambanagn (IUP) milik PT Timah, tidak bisa serta merta dipandang sebagai aktivitas ilegal yang merugikan negara.

Mengenai kerja sama antara PT Timah dan pihak swasta, Eka menjelaskan bahwa MoU (Memorandum of Understanding) yang terjalin pasti didasarkan pada prinsip saling menguntungkan.

"Kerja sama yang telah bertahan lama pasti memiliki dasar keuntungan bagi semua pihak. Jika ada pihak yang dirugikan, kerja sama itu tidak mungkin bertahan selama ini," ujar Eka.

Dia menduga adanya masalah dalam tata kelola yang mungkin menyebabkan persoalan-persoalan baru seperti yang terjadi saat ini. Namun, Eka menegaskan bahwa kesalahan dalam tata kelola tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada individu atau pihak tertentu.

"Masalah tata kelola menyangkut aturan dan regulasi yang berlaku, dan ini tidak bisa hanya disandangkan pada mereka yang saat ini terlibat dalam kasus tersebut," kata.

Hal itu sejalan dengan pernyataan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan perkara tersebut sejauh ini.

Salah satunya datang dari eks Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Agung Pratama dalam persidangan yang menyatakan bahwa penambang ilegal itu sudah terjadi di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah jauh sebelum adanya kerja sama mitra smelter.

Agung mengatakan pemerintah dan PT Timah selaku pemilik IUP pada sejumlah lokasi pertambangan di sana sebenarnya bukannya tinggal diam dan tak melakukan penertiban.

Sejumlah pihak meminta agar angka kerugian negara sebesar Rp 300 triliun di kasus korupsi timah untuk dikaji lagi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News