Solek Cleopatra
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
jpnn.com - Ruteng dan Bajawa mengubah pikiran saya tentang Flores. Addis Ababa mengubah kesan saya tentang Afrika.
Dulu, sebelum ke Ruteng dan Bajawa, Flores itu gersang. Tandus. Panas. Kerontang. Ternyata belahan baratnya seindah Bali. Bahkan lebih sejuk.
Pun ketika mendarat di Addis Ababa Kamis pagi lalu. Betapa sejuknya. Ini bukan Afrika yang hidup di pikiran saya. Ini Ruteng tahun 2075. Sejuknya seperti Ruteng dan Bajawa di setiap bulan Juli. Majunya seperti Ruteng di tahun itu tadi.
Bandara internasional Addis Ababa nyaris di tengah kota. Saya bersyukur mendarat di Addis Ababa tahun ini. Bukan 20 tahun lagi. Saya bisa melihat awal kebangkitan Ethiopia.
Harusnya saya ke sini lima atau 10 tahun lalu. Agar kelak bisa bercerita perkembangan Ethiopia sejak dari sangat miskin.
Sekarang ini saya tidak bisa bercerita bagaimana miskinnya Ethiopia 10 tahun lalu –saat Pak Jokowi baru jadi presiden Indonesia. Maka sangat berbeda cerita saya tentang Ethiopia dibanding tentang Tiongkok.
Saya sudah ke Tiongkok di tahun 1986. Ketika masih sangat miskin. Belum tentu ada satu mobil lewat di Beijing setelah Anda berdiri lima menit di pinggir jalan. Juga masih amat kotor. Masih ada boiler dan tumpukan batu bara di halaman hotel kumuh.
Tapi saat itu saya sudah mulai melihat banyak '"salon kecantikan'' menjamur di sepanjang trotoar pinggir jalan. Para ''pengusaha salon'' itu hanya bermodal baskom, air di ember, dingklik pendek, dan sampo. Wanita-wanita muda duduk di dingklik itu. Cuci rambut. Creambath. Di trotoar.