Solek Cleopatra
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Kami makan malam di situ. Panci panas. Hot pot. Khas Sichuan. Tentu kami minta jangan pakai ma-la –yang pedasnya sampai bisa membuat bibir mati rasa.
Hanya meja kami yang orang-orang Indonesia. Lima meja sebelah kami penuh orang-orang Tionghoa. Saya tanya meja terdekat: pendatang dari Sichuan. Pun meja satunya. Dan satunya lagi. Sedang meja besar penuh wanita muda itu berasal dari Beijing.
Tentu Addis Ababa tidak bisa dikatakan mewakili kondisi Ethiopia keseluruhan. Saya masih harus melihat provinsi yang jauh di pedalaman. Keesokan harinya saya akan terbang ke provinsi terjauh di utara. Juga salah satu yang termiskin: Tigray. Apakah geliat pembangunan juga sudah sampai di sana.
Di Addis Ababa saya juga mengamati wanitanya. Rasanya wanita Ethiopia juga tidak seperti wanita Afrika pada umumnya. Lebih cantik. Lebih anggun.
Saya pun ingat-ingat: baru dua hari berpisah dengan istri. Kadang pandangan tentang kecantikan juga tergantung pada sudah berapa lama tidak melihat istri.
Berarti pandangan saya ini masih murni: wanita Ethiopia memang berbeda dengan belahan lain Afrika. Wajahnyi lebih lonjong. Dagunyi lebih lancip –tanpa operasi rahang. Bibirnyi lebih tipis. Dahinya sedikit lebih lebar. Kulitnyi memang hitam tapi tidak legam.
Begitu banyak wajah wanita lalu-lalang di trotoar yang saya perhatikan. Rasanya, umumnya, tipikal seperti wajah Cleopatra –sebelum oplas.
Sambil jalan-jalan menelusuri trotoar yang lebar saya menyapa dua wanita muda. Mereka berhenti melangkah. Bahasa Inggris mereka bagus. Begitulah umumnya anak muda di kota itu. Tukang parkir pun bisa bahasa Inggris.