Solo: Sebuah Barometer

Solo: Sebuah Barometer
Solo: Sebuah Barometer
Saya berkeliling mall. Sebagian besar gerai-gerai sangat familiar, sebut saja Giordano, Ralph Polo Lauren, Charles & Keith – simbol kemakmuran yang sedang tumbuh di Indonesia.

Sebagai pecinta buku, saya mencari Gramedia di mall ini, namun saya tidak menemukan toko buku itu. Akhirnya saya menuju ke Black Canyon Cafe di mana saya akan bertemu dengan teman lama sekaligus subjek wawancara, seorang pengusaha etnis Cina dan aktivis sosial yang selalu bersemangat, Sumartono Hadinoto.

Saya berjumpa dengan Pak Sumartono pada beberapa kali kesempatan sejak pertama kali mewawancarainya di tahun 2009 silam. Sekarang di usianya yang mendekati umur 60 tahun, Sumartono terlihat lebih optimis – berhati lapang dan tetap antusias. Dia percaya arti memberi kepada masyarakat.

Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, Sumartono adalah salah satu korban kerusuhan Mei 1998. Ia kehilangan bisnis aluminiumnya di tangan penjarah dan ganasnya kobaran api. Ia sendiri berhasil lolos melalui lubang di dinding yang dibuatnya sendiri – sebuah lubang yang mengingatkannya pada dua hal: keberuntungan akan keselamatan nyawanya dan arti penting bagaimana mengatasi kejahatan yang dilakukan masyarakat di kota yang ia tinggali.

LIMA belas tahun yang silam, pasti sulit untuk membayangkan apa yang telah saya saksikan di Solo pada minggu lalu. Saat itu – dalam dua hari

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News