Solo: Sebuah Barometer
Jumat, 24 Mei 2013 – 17:01 WIB

Solo: Sebuah Barometer
Pada kenyataannya, Pak Sumartono telah “membalas” atas apa yang telah menimpanya di lebih lima belas tahun silam. Saya datang dan berbincang-bincang dengannya tidak lain karena saya ingin merasakan dan mendengarkan langsung pendapatnya tentang pemilihan umum 2014 tahun depan: apakah transisi yang telah terjadi akan menyebabkan periode ketidakstabilan? Akankah Solo sekali lagi bisa menjadi flashpoint? Apakah itu mempertahankan reputasi Solo sebagai spot yang berpotensi rusuh?
Namun ia menjawabnya dengan menjlentrehkan perkembangan-perkembangan yang ia capai dalam berbagai kegiatan amal dan asosiasi masyarakat. Ia secara khusus memfokuskan pada organisasi Palang Merah dan menyatakan dengan bangga bahwa cabang di Solo tidak memerlukan dana dari pemerintah, “Di Solo kami mengumpulkan sendiri semua uang yang dibutuhkan”
Kegembiraannya terpancar ketika ia mengatakan: “Kebahagiaan bukan tentang uang”, saya mengangguk kagum. Pria ini tampaknya telah menemukan keseimbangan yang terkadang sulit didapat yaitu antara keluarga, bisnis dan obsesi pribadinya. Semakin saya mendengar tuturannya, semakin saya tidak bisa mengelak bahwa saya merasa iri akan ketenangan batin dan kepuasan yang ia rasakan.
Saat saya mendesaknya tentang kemungkinan kerusuhan berulang, Sumartono berhenti sejenak sebelum menjawab: “zaman sudah berubah, tapi masih ada jejak-jejak trauma. Namun, kebanyakan orang apatis. Mereka tidak peduli lagi tentang politik.”