Sontekan Penalti Dahlan Iskan
Rabu, 07 Maret 2012 – 02:48 WIB
Olahraga itu adalah hiburan yang berkeringat, hiburan sehat, show yang bernilai seni, atau art yang universal. Di mana pun penggemar sepak bola, pasti suka melihat aksi Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Wayne Rooney, David Becham, dan lainnya.
Tetapi, sport di negeri ini terlalu kencang ditarik-tarik ke area politik. Maka istilah dukung mendukung, bargaining, jual beli suara, kongres, voting, suara terbanyak, tata tertib, boikot, pro dan kontra, rasanya lebih memberi warna daripada kata-kata: pembinaan, bintang lapangan, gol-gol indah, dan sebangsanya. Sepak bola kita sudah tercemar oleh aroma politik.
Kekalahan spektakuler, 0-10 dari Bahrain, di Pra Piala Dunia 2014 lalu juga lebih mengemuka analisis dimensi politik, sadar atau tidak sadar. Orang menyebut, itu gara-gara timnas hanya mengakses pemain dari geng IPL? Tidak mengakomodasi bintang-bintang ISL? Kekuasaan lebih menonjol, daripada fakta dan pertimbangan kualitas pemain?
Ketum PSSI Johar Arifin Husin juga memberi jawaban yang bisa ditafsirkan bernuansa hukum dan politik. Dia berlindung di bawah aturan dan hukum FIFA. Kata dia, FIFA melarang pemain ISL di timnas. Kok bisa begitu?
PRESIDEN SBY sudah memberi sinyal. Menegpora Andi Malarangeng sudah angkat bicara. Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman sudah bersuara. Semua stakeholders
BERITA TERKAIT
- Batal Didatangi Massa Buruh, Balai Kota DKI Lengang
- Jangan Menunggu Bulan Purnama Menyapa Gulita Malam
- Dua Kali Getarkan Gedung, Bilateral Meeting Jalan Terus
- Agar Abadi, Tetaplah Menjadi Bintang di Langit
- Boris Yeltsin Disimbolkan Bendera, Kruschev Seni Kubisme
- Eskalator Terdalam 80 Meter, Mengusap Mulut Patung Anjing