Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia

Dorong Perempuan Tak Kehilangan Jati Diri, Jaga Rumah Tangga Tetap Awet

Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia
Ries Woodhouse (kanan) dan Ida Friggeri. FOTO : PRIYO HANDOKO/JAWA POS
Selain latar belakang, Ries menyarankan kepada setiap orang Indonesia yang berencana menikah dengan warga asing untuk membicarakan rencana kehidupannya setelah menikah. Kelihatannya remeh, tapi justru ini sangat penting.

Misalnya, di mana akan tinggal setelah menikah, gaya hidup apa yang akan dijalani -apakah separo barat, separo timur, atau memilih salah satunya. Kemudian nanti kalau tua menetap di mana, termasuk anak-anaknya akan ikut agama apa, dan bagaimana pendidikannya. "Jangan hanya cinta"cinta"cinta, kalau sudah menikah fakta yang berbicara," tegasnya.     

Ries kembali mencontohkan ada kasus seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan orang Prancis. Setelah menikah perempuan ini ikut suaminya ke Negeri Menara Eiffel itu. Setibanya di sana, perempuan ini kaget. Untuk tempat tinggal memang disediakan suaminya. Tapi, dia ternyata harus bekerja untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Padahal suminya kaya. "Intinya, kalau sudah benar-benar nyambung, baru boleh kawin. Jangan cuma dibuai cinta," kata Ries.

Bagi orang yang sudah pernah tinggal di luar negeri, biasanya cukup peka dengan hal-hal "teknis" seperti ini. Tapi bagi yang lahir dan besar di Indonesia, umumnya kurang peduli. "Kawin campur dengan orang asing jangan dianggap sama kayak kawin lintas suku," kata ibu empat anak yang lahir di Solok, Sumatera Barat, 20 Maret 1950, itu.

TREN kawin campur antara warga Indonesia dengan orang asing. Untuk mewadahi pasangan gado-gado itu, saat ini terdapat sejumlah komunitas. Di antaranya,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News