Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia

Dorong Perempuan Tak Kehilangan Jati Diri, Jaga Rumah Tangga Tetap Awet

Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia
Ries Woodhouse (kanan) dan Ida Friggeri. FOTO : PRIYO HANDOKO/JAWA POS
Banyak pula terjadi perkawinan campur dengan motif ekonomi. Sewaktu masih menjadi pegawai kedutaan Indonesia di Prancis, Ida pernah menemui kasus seperti ini. Ada seorang perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, menceraikan suaminya untuk menikah dengan orang Prancis yang bekerja menjadi teknisi dalam pembangunan Bandara Soekarno-Hatta. Tender pembangunan bandara pada 1977 itu ceritanya dimenangkan perusahaan Prancis, Aeroport de Paris.

Perempuan Indonesia itu mengira teknisi dari Prancis itu orang kaya. Memang selama proyek pembangunan, teknisi itu mendapatkan fasilitas lumayan baik dari perusahaannya. Setelah menikah, perempuan tersebut dan ketiga anaknya ikut pindah ke Prancis.

Sampai di sana, mereka ternyata tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur. Kemampuan bahasa juga tidak punya. Akhirnya lari dan minta tolong ke kedutaan. "Kadang-kadang visi-misi kawin campur itu beda banget. Berbeda dengan orang yang lama tinggal di luar negeri. Memang suka sama suka dan tahu sama tahu," tuturnya.

Ida sendiri bersuami orang Prancis, seorang Katolik yang masuk Islam. Setelah lulus kuliah ekonomi di Inggris, Ida langsung ke Prancis pada 1979 untuk belajar bahasa Prancis. Dia kemudian bekerja menjadi staf kedutaan RI setempat dan menikah pada 1984. Karena suami sempat lama tinggal di Maroko, kultur Islam menjadi sesuatu yang tidak baru.

TREN kawin campur antara warga Indonesia dengan orang asing. Untuk mewadahi pasangan gado-gado itu, saat ini terdapat sejumlah komunitas. Di antaranya,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News