Standarisasi Pendidikan Pesantren Perlu Jaminan
Senin, 25 Januari 2010 – 18:00 WIB
KEINGINAN pemerintah yang akan melakukan standarisasi pendidikan pesantren, (Detik, 24 Januari) harus melalui kajian yang melibatkan pondok pesantren, agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesantren. Pada prinsipnya, pemerintah perlu lebih serius mengimplementasikan paradigma pendidikan tanpa diskriminasi, sesuai pesan implisit UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tanpa harus melakukan "campur tangan" terhadap kekhasan pendidikan di pondok pesantren. Sedangkan pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas (pengakuan/persamaan) tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri. Jadi, pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren. Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat pendidikan diniyah menengah ini lebih mendekati rasa keadilan.
Upaya menghapus diskriminasi tersebut sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan, agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren. Misalnya, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti Wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Baca Juga:
Sayangnya, pihak Diknas mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah Wajar Dikdas yang pemerintah terbitkan, di samping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?
Baca Juga: