Stereotip Masih Jadi Hambatan Perempuan Memimpin Perusahaan
Lebih lanjut, perempuan dihadapkan konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan.
Apalagi di saat pandemi Covid-19, hal itu semakin berat. Karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.
Perempuan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama.
"Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya," ujar Maya.
Dia mengaku sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, dia menegaskan, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan.
Banyak faktor, salah satunya dengan fenomena glass ceiling.
Salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan, yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.
"Kalau kita bicara isu perempuan, masih di bawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," tegasnya.
Sejatinya masalah stereotip dianggap masih menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam mewujudkan mimpinya dalam memimpin perusahaan.
- Tegas, YLKI Tolak Kenaikan PPN 12 Persen
- Grant Thornton Indonesia Kupas Tuntas Strategi RI Hadapi Tantangan Ketidakpastian Ekonomi
- Chief Human Capital Officer ACC Raih Indonesia Most Powerful Women Awards 2024
- Kisah Sukses Nasabah PNM Mekaar, Ekspor Olahan Sisik Ikan ke Berbagai Benua
- Gegara Kelakar soal Janda, Ridwan Kamil Dinilai Merendahkan Perempuan
- ICEBM Untar 2024 jadi Sarana Percepatan Pencapaian SDGs untuk Semua Sektor