Suara Tak Terucap dari Kelok Seribu (Bagian 2)

Kedekatan Pimpinan dengan Rekanan Menakutkan Bawahan

Suara Tak Terucap dari Kelok Seribu (Bagian 2)
Suara Tak Terucap dari Kelok Seribu (Bagian 2)
MASYARAKAT Ruteng-Maumere punya cara melewati "kelok seribu" tanpa mabuk. Yakni, naik "bus kayu". Itulah kendaraan umum yang amat populer di jalur "kelok seribu". Truk yang diberi atap. Bus biasa kurang laku di sana. Dengan naik bus kayu, penumpang bisa mendapat udara bebas, di samping bisa membawa barang dan ternak lebih banyak.

 

Pukul 21.00, barulah kami tiba di Ende. Ikan bakar yang disiapkan teman-teman PLN Ende sudah pada dingin. Tapi, seluruh karyawan masih menanti sambil bernyanyi-nyanyi. Tentu juga sambil menahan lapar. Karena itu, sebelum kepala cabang Ende, Audi, membuka acara dialog tengah malam, kami makan dulu ramai-ramai.

 

Kami pun sepakat, keesokannya pukul lima pagi kumpul lagi di kantor. Untuk bersama-sama olahraga jalan pagi. Yakni, dari kantor PLN ke rumah kenangan yang dulu ditempati Bung Karno ketika empat tahun dibuang ke Ende. Jarak tempuhnya 45 menit. Kurang lebih sama dengan jarak jalan kaki saya setiap pagi dari rumah saya di sebelah Pacific Place, Jakarta, ke Kantor PLN Pusat di Jalan Trunojoyo.

 

Pagi itu, kami tidak sempat sarapan. Setelah selesai olahraga, kami harus bergegas ke proyek PLTU Ende di pantai utara. Berarti, kami harus kembali menyusuri "kelok seribu" dengan perut kosong. Jarak tempuhnya hampir tiga jam. Untungnya, ada singkong rebus yang dimasukkan ke mobil bersama sambal.

 

MASYARAKAT Ruteng-Maumere punya cara melewati "kelok seribu" tanpa mabuk. Yakni, naik "bus kayu". Itulah kendaraan umum yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News