Suara Terbanyak, Politik Jadi Mahal
Senin, 26 Januari 2009 – 23:35 WIB
SOLOK - Meski diakui memiliki sejumlah sisi positif, sistem suara terbanyak dikhawatirkan mendorong terciptanya politik mahal yang bisa berujung pada demoralisasi masyarakat. Oleh karene itu, kesadaran masyarakat dalam memilih wakil tetap harus berdasar pada kompetensi dan komitmen caleg.
Kekhawatiran ini secara bersamaan ditegaskan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, HM. Din Syamsuddin dan Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bachtiar Effendi, dalam acara Tabligh Akbar Milad Muhammadiyah ke-99 di Solok, Sumatera Barat, Senin (26/1).
Baca Juga:
Menurut Din, demokrasi Indonesia selangkah lebih maju dengan penerapan suara terbanyak. Hanya saja, harus dilakoni dengan biaya terlalu mahal. Baik biaya operasional penyelenggaraannya oleh KPU, maupun biaya yang harus dikeluarkan oleh orang-orang yang ingin tampil, baik menjadi anggota DPR, DPD, atau bahkan presiden dan wakil presdien.
Din juga menambahkan, biaya mahal akan menghalangi munculnya kader-kader atau kandidat terbaik yang ternyata tidak memiliki cukup amunisi finansial untuk bertarung.
Di sisi lain, peluang mereka yang hanya berbekal popularitas tanpa komitmen yang jelas semakin terbuka.
SOLOK - Meski diakui memiliki sejumlah sisi positif, sistem suara terbanyak dikhawatirkan mendorong terciptanya politik mahal yang bisa berujung
BERITA TERKAIT
- Geram dengan KPK, Megawati: Siapa yang Memanggil Kamu Hasto?
- Setelah Sengketa Pilpres 2024, MK Bersiap Menyidangkan PHPU Pileg
- Apresiasi Putusan MK, AHY: Pimpinan Hadapi Tekanan dan Beban Luar Biasa
- MK Anggap Tidak Ada Keberpihakan Presiden terhadap Prabowo-Gibran
- KPU Bakal Umumkan Hasil Rekapitulasi Setelah Waktu Berbuka
- KPU Upayakan Rekapitulasi Nasional Rampung Sebelum 20 Maret